Tuesday 10 June 2014

Cerpen: Aku dan Mereka

Aku dan mereka
Hari yang melelahkan nan panas semakin membuat aku bertambah kacau, ditambah lagi tak ada kejelasan kabar dari dika akhir-akhir ini. Jika aku belum kehilangan ingatanku, Dika adalah orang yang berwibawa dengan tubuh tinggi, berwatak keras, temperamental, cuek tapi penuh perhatian dan penyayang.
Jika ingatanku masih waras, aku pikir dia berubah belakangan ini. Kenapa?
Menjadi tak seramah dulu dan sifatnya menjadi dingin. 
Apakah aku melakukan sesuatu yang tidak waras? Aku rasa tidak, aku masih waras. Ahh.. entahlah                                                                                  
Seperti berjalan di labirin kaleng di pulau kaleng tanpa ada tikus pencari milik Doraemon, berputar-putar pada hal yang sama tanpa tau ujungnya sebelah mana. 
Mungkin beberapa orang bertanya padaku, kenapa perubahannya membuat aku bertanya-tanya mengenai hal itu, alasannya karena dia adalah temanku. Lalu mereka bertanya lagi
Sebenarnya apa dia memiliki rasa kepedulian terhadap yang lain sedangkan ia begitu dingin? Entahlah, dia akan berpura-pura tak peduli seperti biasanya padahal di otaknya dia memikirkan hal itu. Apa dia seseorang yang bijaksana? Tentu, tapi terkadang aku berpikir kalau ia seperti pelaut yang kehausan di tengah lautan. Aku masih tak mengerti jalan pikirannya. Ia pernah bertanya padaku “bagaimana aku menurutmu?”   
“kamu itu rumit, nggak semua orang bisa memahamimu.” jawabku
Dulu jauh sebelum ia berubah saat kita berbicara mengenai kepercayaan dia pernah berkata “kalau kamu beri aku sedikit kepercayaan atau suatu hal lainnya, maka aku akan memberimu hal yang sama bahkan lebih dari apa yang kamu bayangkan.” Saat ia mengatakan hal itu, menurutku biasa saja. Aku pikir semua orang akan melakukan hal yang sama jika kondisinya memang seperti itu.
Tapi tak lama waktu berselang, setelah ia mengatakan hal itu padaku aku baru menyadari perubahannya. Yah, cara berbicaranya dan semua tindak tanduknya padaku. Tak pernah tertinggal kata “apa?” yang terucap dariku saat sedang bergurau dengannya. Semakin halus ia bertutur kata, paham terhadap berbagai sifat baik atau buruk ku dan semakin peduli terhadap hal-hal baik yang harus aku lakukan. Wajar saja jika dalam pertemanan kita saling peduli dan menasehati dalam kebaikan.
Tapi temanpun manusia, terkadang tak bisa selalu ada untuk kita. Masih banyak yang jauh lebih penting dari teman, mungkin. Terkadang ia pun datang dan pergi begitu saja sesukanya, beberapa saat mendekat tapi tak begitu lama pula hilang tanpa kabar. Tak enak juga bagiku jika kau seperti itu, teman. Satu hal lagi mengenai dirimu kau terlalu keras untuk aku lunakan, jadi maaf jika aku belum bisa membantumu menjadi yang lebih baik.
Bagiku, setiap orang harus mempunyai pilihan dan setiap pilihan pasti ada akibatnya. Begitu pula denganku, aku memilih untuk merubahnya maka aku  harus terima setiap akibat dari keputusanku, tentunya respon yang kurang baik dari dika atau dari orang lain. Aku tahu niat baik ku ini mungkin menjadi aib bagiku, lantas bagaimana aku harus meminta maaf padamu? Jika aku mau meluangkan sedikit waktuku untuk berbicara dengannya dan sejenak melupakan kekesalanku padanya, maka aku akan bertanya:                                                                                                            
  “ingatkah engkau mengenai apa yang pernah kau ucapkan padaku bahwa jika aku memberimu kepercayaan maka kau akan memberiku pula bahkan lebih?”                                                                                                                        
 Heuhhh.. Mengapa pula aku mau menanyakan hal sesederhana itu, harusnya aku membuat pertanyaan yang lebih dari ini. Tapi sekarang, berbeda dengan dulu yang datang dan pergi begitu saja, aku kira kini kau akan pergi untuk selamanya. Innalillahi, bukan maksud aku ngira kalo kamu mau mati. :D
Tak ada lagi kabar, tak lagi yang memberi semangat, tak ada lagi yang memberi nasihat, saran juga kritik yang benar-benar membuatku bangkit menjadi yang lebih baik serta tak ada lagi semua hal yang pernah kau berikan padaku dulu.
Agak aneh rasanya saat aku baru menyadari bahwa dia berubah, apa aku berbuat salah padanya? Tapi sudahlah, hal semacam itu tak penting untuk aku pikirkan saat ini. Lagi pula, hampir semua orang begitu datang dan pergi sesukanya, hanya mau mengenal masa pasangnya saja tapi tak mau mengenal masa surutnya. Toh, ada tidaknya dia tak terlalu berpengaruh juga padaku. Selama ini aku merasa selalu sendiri mungkin tak terlalu sendiri saat semuanya masih baik-baik saja dan akan kembali sendiripun tak akan jauh berbeda. Sampai saat ini yang menjadi pikiranku mengenai masalah ini hanya satu yaitu apa yang menjadi penyebab atas berubahnya ia menjadi seperti sekarang ini. Hanya itu tak ada yang lain.
            Aku tak tahu apa yang sebanarnya aku inginkan dan apa yang harus aku lakukan. Seberapapun orang mengenalku tak akan bisa mengenal baik selain diriku sendiri. Maka jika ada yang berkata “aku mengenalmu dengan baik sebaik aku mengenal diriku sendiri” lalu akan ku jawab “lebih baik kau tak usah mengenalku jika caranya seperti itu”.
Mengapa seperti itu? Karena, bukankah ia menyamakan diriku dengan dirinya yang berarti sebenarnya dia tidak pernah mengenalku tapi hanya mengenal aku dari balik bayangannya saja, daripada seperti itu lebih baik tak usah lah kau mengenalku dari awal karena pada akhirnyapun kau tidak akan bisa mengenalku dan hanya akan menemukan gambaran diriku yang kau lukiskan dengan egomu.
Dulu memang aku seperti putri tapi sekarang seperti seorang penelana yang sedang mencari jati diri sendirian, terbawa arus kehidupan, terombang-ambing di lautan hingga terkadang seperti debu yang diterbangkan angin.
Orang bilang dia bijaksana, memang. Tapi seperti yang pernah aku katakan sebelumnya ia seperti orang yang sedang kehausan di tengah lautan, ia bijaksana juga pintar tapi ia masih tak bijaksana dalam menempatkan dirinya. Terkadang aku berpikir apa dia memang bijak karena seringnya dia membuat pilihan yang ia sangka hanya benar dan berakibat bagi semua. Tapi dia salah, hal yang ia pikirkan malah jauh bertolak belakang dengan kenyatan yang ada. Ia membuat pilihan yang salah, banyak yang kecewa terhadap apa yang telah dia katakan. Dika sangatlah idealis tapi dia tak cukup mampu untuk merealisasikan keidealisannya itu, hingga ia hanya berkubang sendirian di dalamnya, karena tak pernah mau membagi masalah atupun memberikan alasannya jika memang tak mau bercerita. Tapi, bagaimana orang mau mengerti dirimu sedangkan kau tak memberikan jalan untuknya agar dapat memahamimu.
Dan mengenai janji yang belum kau tepati, seperti katamu “aku akan memberikan kepercayaanku lebih” tapi pada kenyataanya  you’r a liar!!  Entahlah biarkan mereka sesuka hati  menilai apa yang sedang aku rasa dan pikirkan. Tentang dika atau segala sesuatu mengenai dia, juga mengenai sifat dan tutur kataku. Terkadang aku bingung harus menggambarkan diriku seperti apa? agar mereka tahu bagaimana aku sebenarnya tanpa topeng juga sampul belaka. Karena aku terlalu sering bersandiwara untuk menutupi bagaimana aku dan hatiku, muak sebenarnya!!  Mau bagaimana lagi, aku terlalu rapuh tanpa topeng, seperti vampire yang akan terbakar disiang hari tanpa adanya bayang-bayang yang melindunginya.
Apa kalian tahu bagaimana rasanya kecewa? Apa hatimu sakit saat dikecewakan? Pasti, tapi tak mudah untuk digambarkan. Bagai sutera yang dipotong dengan pisau berkarat, rasanya begitu sakit, mengganggu tenangnya hati dan pikiran. Walau begitu ingin kecewa pada siapa? sedangkan aku tak ada hak untuk kecewa siapapun. Marah, marah pada siapa? sedangkan masalah tak akan bisa diselesaikan dengan emosi. Menangis, menangis untuk apa? lagipula aku sudah cukup lelah untuk menangis.  Pernahkah kau berpikir, terkadang hal-hal yang menurut kalian sederhana adalah suatu hal yang rumit bagiku, karena kalian menganggap itu hal yang sepele-lah, jadi tak dapat mengerti apalagi memberimu saran atau nasehat. Karena, kenapa? kalian tidak pernah merasakan apa yang pernah aku rasakan.                                                                                                   
Karena tak ada orang yang dapat mengerti kita jika mereka sendiri belum pernah merasakan hal yang sama.
Hmmm….  Sudah sejauh ini tapi kalian belum tahu namaku. Aku Asyifa Mazaya Azatti berbadan tinggi, bermata sipit dan berwajah tak terlalu bulat, panggil saja Syifa. Nama pemberian dari orang yang ia sayangi  jauh sebelum mengenal dika.
Namanya Awan, Awan Pangestu. Berbadan tidak terlalu tinggi untuk ukuran laki-laki  tapi dia berkepribadian lembut, pengertian dan tentunya pintar. Syifa berjumpa dengan Awan untuk pertama kalinya saat diadakan seleksi Lomba Cepat Tepat Biologi di kelas XI IPS1. Saat itu Syifa adalah seorang siswi semester pertama tahun pertama di SMAN 3 Bogor dengan pribadi polos dan pendiam itu mulai mengagumi sosok yang bernama Awan saat ia sedang memakai kacamata.
 “kakak itu memiliki raut muka yang menenangkan. Begitu tenang, setenang saat aku melihat langit biru bersih tak berawan. Membuat hati ini seakan terbang ke sana.”. Gumam Syifa dalam hatinya. Terbuyarkan oleh kata-kata dari sang pujaan hati.
“mau permen?” tawarnya sambil tersenyum manis. Membuat atap kelas itu seakan-akan ambruk menindih tubuh kecilnya.                                                                Bagi Syifa, Awan bagaikan langit biru bersih tak berawan di mana setiap orang yang menatapnya tak akan mau berpaling karena rasa tenang yang ia ciptakan, meski langit mendung kelabu tapi baginya Awan  tetap langit yang biru.                                                                                                                                Beranjak dari peristiwa itu Syifa mulai sering memperhatikan tingkah laku Awan, dengan rasa yang bertambah penasaran ia pun mulai mencari nomor HP sang pujaan hati melalui senior yang ia kenal.
Nomorpun didapat.
“assalamu’alaikum J” dengan harap-harap cemas Syifa menunggu balasan dari Awan.
Tak lama waktu berselang sms dari sang pujaan hatipun datang, membuatnya senang bukan kepalang hampir-hampir rasa senang itu meletus menerobos ubun-ubunnya. Mungkin jika ada orang yang melihat ia saat itu, mereka akan tertawa karena wajahnya yang merah seperti tomat.
“wa’alaikumsalam J siapa ini?”
“ini aya ka, teman satu kelompok waktu seleksi.”
“oh aya tho, gimana ay UTSnya lancar?”
Kebetulan saat diadakannya seleksi,  Syifa dan seluruh siswa SMA itu sedang melaksanakan Ujian Tengah Semester.
Smspun terus berlanjut sampai hari berikut dan berikutnya. Hingga pada suatu hari ada kejadian di mana membuat teman satu kelas Syifa heran bukan main, mungkin mereka berpikir bagaimana caranya Syifa bisa dekat dengan Kakak kelas apalagi dia seorang lelaki sedangkan untuk akrab dengan teman cowok  satu kelaspun ia tak berani. Saat itu musim penghujan, hujan tak kunjung berhenti dari mentari belum datang hingga menjelang di atas kepala. Awan datang dengan buku fisika yang akan ia pinjamkan kepada Syifa, ia datang ke kelasnya tanpa mengenakan sepatu.
“sepatu kakak basah kena air hujan, jadi lebih baik dilepas. J
Alasan yang ia tuturkan mengapa tak mengenakan sepatu. Hingga Awan berlalu, Syifa masih tetap menatapi punggung sang pujaan hati. Hening dan sejuk terasa sampai ke hati. Namun rasa itu hilang saat suara gemuruh itu mengguncang kelasnya.
“cieeeeeeeeeeeeeee” suara mereka meledek.                                                            Saat kejadian itu terjadi, tak ada yang tak tahu mengenai siapa pujaan hatinya.
“lho kok Syifa kak? Memang dia siapa?”
“Syifa itu kamu, panggilan dari kakak sendiri Syifa J                                                  
Di minggu itulah ia dipanggil Syifa oleh Awan dan otomatis panggilan itu akan ia gunakan bagi yang lain juga, jadi tak hanya Awan yang memanggilnya Syifa.
Hingga suatu kejadian membuatnya patah hati untuk yang pertama kalinya dari cinta pertamanya. Saat itu, hari minggu januari 2011, HP yang Syifa miliki terjatuh di angkot saat hendak beranngkat ke sekolah. Saat itulah Syifa dan Awan hilang komunikasi untuk waktu yang cukup lama dan ditambah lagi sang pujaan hati memiliki seorang pacar yang menembah badmood adalah ia teman sekelas Awan sendiri, namanya Mega, senior Syifa waktu di SMP dulu walau tak begitu dekat memiliki perawakan pendek, kurus dan cantik. Padahal antara Syifa dan awan memiliki keakraban yang sangat dekat.
Walau begitu untuk waktu yang lama Syifa tetap menyimpan Awan dalam hati tak ada yang tahu seberapa dalam cinta yang dimilikinya terhadap Awan selain Allah dan dia sendiri, hingga siapapun orang yang mencoba berenang dalam lautan hatinya maka ia akan tenggelam karena cinta yang Syifa miliki begitu dalam dan belum ada yang mampu menguras air yang menggenang membentuk lautan di hati Syifa. Tapi hingga kini, hingga 3 tahun berikutnya cinta Syifa masih sedalam dulu. Meski Awan sudah terlampau berubah sekelam malam tapi tetap belum terganti.
Meski 1 tahun yang lalu ketika kesetiaan cinta Syifa yang tak kunjung menemui kepastian diuji dengan datangnya teman yang begitu baik, menghibur dan hangat, jauh dari sifat dingin yang Awan punya. Ia memperlakukan Syifa dengan baik, penuh perhatian dan kedewasaan tapi mengapa pula Syifa tak dapat memalingkan wajahnya dari wajah dingin Awan untuk menghadap wajah hangat Dika yang mampu membuatnya tersenyum semanis mawar yang mekar di pagi yang cerah hingga mampu meminggirkan Awan dalam beberapa menit saja.
Hingga dalam waktu yang cukup lama, Dika hampir merubah satu pola pikir Syifa tentang Awan yaitu Awan tak lagi secerah langit biru tapi lagit yang penuh dengan awan cumulus nimbus, awan yang membawa badai tapi Dika-lah yang hampir saja menjadi awan biru baginya. Dialah Fernandika Azzami.
Selama ia mengenal Dika, Syifa tak pernah melihat Dika tertawa atau tersenyum seaneh itu kepada orang lain kecuali padanya, sampai saat ia tertawa memerahlah mukanya hampir seperti udang goreng. Ia merasa senang karena dengan adanya Dika pikiran yang semula penuh tentang Awan berkurang menjadi 4% lebih sedikit, sedikit menyingkirkan awan mendung dan terganti dengan sinar hangat yang dibawa Dika. Walau banyak orang yang berpendapat bahwa ia adalah sosok cuek dan dingin tapi menurut Syifa justru sebaliknya, hangat dan penuh perhatian yang siap ia tumpahkan pada Syifa kapan saja walau Dika tak pernah menampakannya. Selalu ia berkata “tidak” saat Syifa menginginkan agar ia lebih ramah pada yang lain, terutama pada orang yang menyukainya, karena sikap cuek dari orang yang kita sukai akan terasa pahit . Banyak hal yang diceritakan tentang diri mereka masing-masing entah meminta saran, kritik atau mengungkapkan kekesalan untuk saling menenangkan satu dan lainnya. Saling terbuka dan percaya membuat mereka tak merasa canggung. Hari-hari terlewati begitu tenang bagi Syifa membuatnya berhenti sesaat memikirkan betapa rumitnya Awan.
Waktu terus berdetak melewati Syifa yang telah merasakan suatu hal yang berbeda. Fani, seorang junior dengan tingkat kepopuleran yang lumayan tinggi karena kecantikan yang ia miliki itu terus-terusan menghubungi Syifa membicarakan hal-hal yang ia pikir tak penting dan ia pun menyadari pula bahwa ada udang di balik batu.
Ternyata benar saja, Fani  mendekatinya hanya ingin mengorek informasi mengenai Dika, hanya mengenai Dika!!
“Ternyata Fani benar-benar menyukai Dika, aneh rasanya cewek sepopuler dia menyukai Dika yang biasa-biasa saja”. Gumam Syifa dalam hati.
Meminta Syifa untuk mendekatkan dia pada Dika. Syifa menurut, tapi apa respon yang diberikan Dika saat ia mengatakan hal tentang fani? Ia hanya tersenyum, sambil menatap mata Syifa sejenak dan seakan ada urat kecewa dalam tatapannya itu lalu ia pergi begitu saja. Entah apa yang dipikirkan Dika saat itu Syifa pun tak mengerti. Lantas Syifa menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi kepada Fani. Lalu ia menjawab “sudahlah, Kak Dika selalu cuek jika membalas smsku, dia sangatlah dingin padaku, dia memang tak suka padaku dari awal.” Katanya sambil air mata hendak turun dari pelupuk matanya. Padahal banyak lelaki yang mengantri untuk menjadi pacarnya tapi Fani tetap mengharapkan Dika. Ya, Dika.
“padahal pada kenyataannya dia tak dingin padaku, memang pada dasarnya ia cuek, tapi tidak sedingin yang ia bayangkan. Lagipula kenapa dia bisa menyukai Dika, bukankah ia biasa saja padahal Fani bisa tinggal memilih yang lain, kan sudah banyak yang ngantri.” Gumam Syifa dalam hati.
Hal itu membuat Fani jarang menghubunginya lagi, tak ada pertanyaan juga tak ada kata permintaan tolong. Syifa sadar, bahwa ia baru saja dimanfaatkan.
“kenapa dia memanfaatkanku, apa ada kaitannya aku dengan Dika? Padahal banyak teman yang lebih dekat dengan Dika jika memang ingin mengorek informasi tentangnya”.
Tak berselang begitu lama, Syifa merasa Dika menjadi dingin baginya, ia berpikir terkadang api pun ada masanya di mana ia akan segera padam. Mungkinkah karena karena Syifa sering bercerita tentang Fani pada Dika?
Kedekatan mereka berdua seperti batuan di luar angkasa, tak ada kontak sama sama sekali, karena harus ada gaya dari luar yang menyebabkan kerenggangan atau tubrukan itu dapat terjadi. Jadi, Syifa tak mengerti mengapa Dika bersikap dingin padanya.
“tapi mengapa? Mengapa semuanya begitu saja padam dengan mudahnya. Membolak-balikkan hatiku begitu saja semau mereka?” rintih Syifa dalam hati.
Hingga suatu hari sikap dingin yang diberikan Dika akhirnya menemui satu bukti. Ternyata sedang ada yang  menjadi ratu di hatinya, dia adalah junior Syifa juga.  Meski begitu, ia tak merasa kehilangan tapi merasa kalau ia sudah dimanfaatkan lagi. Saat sendiri Dika datang tapi saat ramai dia lupa punya teman bernama Syifa. Di saat itu juga Syifa meyakinkan dalam hati bahwa untuk apa teman seperti itu ada dan dipercayai. Teman yang hanya mengenal masa pasang tapi tapi tak mau mengenal masa surutnya.
“jadi omonganmu selama ini tentang teman hanya omong kosong belaka.” Gerutu Syifa dalam hati.
Kesal hati Syifa memikirkan hal itu, tapi datanglah kabar yang menyejukan hati Syifa datang dari sang pujaan hati, Awan. Terdengar kabar bahwa hubungan antara Awan dan Mega telah putus. Entah ia harus merasa senang atau sedih untuk menanggapi peristiwa ini. Senang karena kuncup pegharapannya pada Awan mulai mekar kembali, tapi sedih ketika ia mendengar alasan mengapa mereka putus yaitu karena Awan menganggap Mega sebagai gangguan dalam belajarnya tapi pada kenyataannya  Awan malah mendekati teman satu kampusnya yang lebih dari Mega.
“kasihan mbak Mega.” Renungnya
Walau Syifa sekarang lebih tahu bagaimana Awan sejatinya namun ia masih menganggap Awan sebagai langit birunya walau kini sudah lebih berawan. Sedangkan Mega, ia mencoba menjalin hubungan baru dengan Radit teman satu kelas Syifa dan dari raditlah Syifa tahu bahwa Dika adalah sosok arogan yang suka menaklukan sesuatu yang menurutnya adalah sebuah tantangan tapi kemudian ia gletakan begitu saja setelah mendapatkannya. Ternyata teman dari mmantan radit adalah Nia dan Nia adalah sang mantan ratu di hati Dika berbadan agak gemuk dengan kulit sawo matang.
Tak membutuhkan waktu yang lama dari pencopotan gelar ratu bagi Nia, ia mencoba mendekati Syifa dengan bersikap baik dan ramah padanya entah apa maksud di balik sikapnya yang seperti itu, benar-benar tulus ataukah sama dengan apa yang pernah Fani lakukan dulu padanya, mencari informasi mengenai Dika karena Dikapun kembali baik seperti dulu pada Syifa. Tapi pada akhirnyapun  Nia berlenggang juga dari jalan Syifa dan tak meninggalkan jejak sedikitpun. Syifapun sudah mulai terbiasa dengan sifat Dika yang seperti itu, jadi ia sudah biasa saja dalam menanggapi masalah ini, mengenai Dika, Fani ataupun Nia. Karena mereka semua hobi meninggalkan Syifa dengan pikiran dan perasaan yang sedang di persimpangan jalan, sendirian.
kemudian, tak berselang begitu lama datanglah seorang teman Syifa yang bercerita bahwa ia menyukai Dika.
“hahh? Mengapa ini terjadi? Memangnya apa kaitanku dengannya sampai 3 orang menceritakan hal yang sama padaku. Mereka semua menyukai Dika.” Heran Syifa dalam hati.
Namanya Aliya tak terlalu tinggi juga tak terlalu pendek. Syifa berpikir keras-keras tentang apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia putusakan untuk membantunya menceritakan apa yang sedang ia rasakan kepada Dika,  tapi respon yang ia dapat sama dengan respon yang pernah Dika berikan sewaktu Syifa bercerita tentang Fani. Dika menjadi dingin lagi, menjauh lagi tapi kemudian datang lagi, pergi lagi dan saat dia pergi, Syifa tahu bahwa Dika sekarang menyukai saudaranya, Rima Malaya Azatti. Ia turut senang karena adiknya mendapat perhatian lebih dari orang lain, tapi ia juga takut kalau Dika akan meninggalkan Rima begitu saja. Sedangkan kondisi rima akhir-akhir ini memburuk karena suatu hal.”
Tapi entah rasa seperti apa yang Dika miliki terhadap Rima, Syifapun tak tahu.
Sampai kekuatiran Syifa pun terjadi, Dika mulai berlalu darinya. Syifa tak tahu masalah apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.
“aku mau Tanya.”
“iya boleh.”
“aku boleh minta tolong?”
“iya selama aku bisa. Apa?”
“entah masalah apa yang sedang kalian hadapi atau seberapapun kamu kecewa padanya, aku mohon jangan tinggalkan dia, kamu boleh pergi tapi tetap perhatikan dia. Dia butuh perhatianmu, pantau dia walau memang kau tak bisa di sini. Aku mohon. Sekali saja, ini adalah permintaanku padamu, aku mohon kau kabulkan. Kabulkan permintaanku yang ini. Aku mohon.” Pinta Syifa.
“aku ngga bisa, aku punya caraku sendiri.” Jawabnya dingin.
Begitulah Dika datang dan pergi sesukanya dalam kehidupan Syifa entah sebagai pemeran utama atau figuran yang sering sekali membuat Syifa merasa kecewa padanya dan untuk waktu yang sangat lama tak ada komunikasi di antara mereka berdua hinga suatu hari Dikapun kembali baik pada Syifa, rupa-rupanya Dika mencoba menyalakan api itu kembali. Tapi sayang, Syifa kini sedingin es, api yang coba Dika nyalakan tak akan bisa berkobar di dekatnya sebelum ia rubah pikiran buruk mengenai dirinya.
Kini pesona langit biru dengan ketenangan dan sinar hangatnya yang hampir pernah digelar oleh Dika seketika runtuh di mata Syifa dan mengenai Awan, meski cinta Syifa sedikit berkurang padanya meski masih begitu dalam ia tenggelam oleh cintanya pada Awan tapi untuk sekarang ia tak ingin mengungkit-ungkit cerita mengenai Awan ataupun Dika atau segala sesuatu mengenai mereka berdua, sampai saatnya ia merasa kuat untuk berdiri di atas kakinya lagi setelah beberapa kali terjatuh oleh rasakecewa yang menderanya dan mempermainkan kepercayaannya, karena baginya lebih mudah untuk tak menyerah dibanding dengan berdiri kembali saat ia terjatuh.
“tanpa memiliki kepercayaan dan keyakinan, kau tidak akan memiliki apapun. Karena itulah, aku percaya jika suatu saat nanti akan datang seseorang yang lebih baik yang akan menetap di hatiku tanpa pernah mengenal kata datang dan pergi dariku. Walau semua ini terjadi padaku, meski  hal-hal yang terkadang membuatku menangis, kecewa atau marah sekalipun tapi ini semua merupakan bagian dari pemandangan yang mewarnai perjalannan terjalku yang membuatnya semakin indah dan tak akan terlupakan. Selamanya.”





Hari yang melelahkan nan panas semakin membuat aku bertambah kacau, ditambah lagi tak ada kejelasan kabar dari dika akhir-akhir ini. Dika adalah orang yang berwibawa dengan tubuh tinggi, berwatak keras, temperamental, cuek tapi penuh perhatian dan penyayang yang membuat aku merasa seperti seorang putri.
Padahal ada suatu hal yang terjadi akhir-akhir ini, ingin sekali tanyakan mengapa ia berubah. Berubah menjadi tak seramah dulu dan menjadi sedingin es, mungkinkah karena aku yang lebih dahulu bersifat dingin padanya? Aku rasa tidak. Ahh.. entahlah, mungkin dia memang tahu bagaimana aku  lebih dari yang lain, tapi apa ia tahu mengapa aku tak jua menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi bahwa aku terlalu kecewa atas apa yang telah ia lakukan terhadapku dan bukan hanya aku.
Ahh, mengapa serumit ini!!!                                                                                  Seperti berjalan di labirin kaleng di pulau kaleng tanpa ada tikus pencari milik doraemon, rumitt dan aku tak tahu apakah ada orang yang pernah merasa seperti di posisiku sekarang ini dan tahu kejadian yang sebenarnya terjadi. Huaahhh …
Mungkin beberapa orang bertanya padaku, kenapa perubahannya membuat aku bertanya-tanya mengenai hal itu, alasannya karena dia adalah temanku. Lalu mereka bertanya lagi
Sebenarnya apa dia memiliki rasa kepedulian terhadap yang lain sedangkan ia begitu dingin? Entahlah, dia akan berpura-pura tak peduli seperti biasanya padahal di otaknya dia memikirkan hal itu. Apa dia seseorang yang bijaksana? Tentu, tapi terkadang aku berpikir kalau ia seperti pelaut yang kehausan di tengah lautan. Aku masih tak mengerti jalan pikirannya. Ia pernah bertanya padaku “bagaimana aku menurutmu?”    “kamu itu rumit, nggak semua orang bisa memahamimu.” jawabku
Dulu jauh sebelum ia berubah saat kita berbicara mengenai kepercayaan dia pernah berkata “kalau kamu beri aku sedikit kepercayaan atau suatu hal lainnya, maka aku akan memberimu hal yang sama bahkan lebih dari apa yang kamu bayangkan.” Saat ia mengatakan hal itu, menurutku biasa saja. Aku pikir semua orang akan melakukan hal yang sama jika kondisinya memang seperti itu.
Tapi tak lama waktu berselang, setelah ia mengatakan hal itu padaku aku baru menyadari perubahannya. Yah, cara berbicaranya dan semua tindak tanduknya padaku. Tak pernah tertinggal kata “apa?” yang terucap dariku saat sedang bergurau dengannya. Semakin halus ia bertutur kata, paham terhadap berbagai sifat baik atau buruk ku dan semakin peduli terhadap hal-hal baik yang harus aku lakukan. Wajar saja jika dalam pertemanan kita saling peduli dan menasehati dalam kebaikan.
Tapi temanpun manusia, terkadang tak bisa selalu ada untuk kita. Masih banyak yang jauh lebih penting dari teman, mungkin. Terkadang ia pun datang dan pergi begitu saja sesukanya, beberapa saat mendekat tapi tak begitu lama pula hilang tanpa kabar. Tak enak juga bagiku jika kau seperti itu, teman. Satu hal lagi mengenai dirimu kau terlalu keras untuk aku lunakan, jadi maaf jika aku belum bisa membantumu menjadi yang lebih baik.
Bagiku, setiap orang harus mempunyai pilihan dan setiap pilihan pasti ada akibatnya. Begitu pula denganku, aku memilih untuk merubahnya maka aku  harus terima setiap akibat dari keputusanku, tentunya respon yang kurang baik dari dika atau dari orang lain. Aku tahu niat baik ku ini mungkin menjadi aib bagiku, lantas bagaimana aku harus meminta maaf padamu? Jika aku mau meluangkan sedikit waktuku untuk berbicara dengannya dan sejenak melupakan kekesalanku padanya, maka aku akan bertanya:                                                                                                              “ingatkah engkau mengenai apa yang pernah kau ucapkan padaku bahwa jika aku memberimu kepercayaan maka kau akan memberiku pula bahkan lebih?”                                                                                                                         Heuhhh.. Mengapa pula aku mau menanyakan hal sesederhana itu, harusnya aku membuat pertanyaan yang lebih dari ini. Tapi sekarang, berbeda dengan dulu yang datang dan pergi begitu saja, aku kira kini kau akan pergi untuk selamanya. Innalillahi, bukan maksud aku ngira kalo kamu mau mati. :D
Tak ada lagi kabar, tak lagi yang memberi semangat, tak ada lagi yang memberi nasihat, saran juga kritik yang benar-benar membuatku bangkit menjadi yang lebih baik serta tak ada lagi semua hal yang pernah kau berikan padaku dulu.
Agak aneh rasanya saat aku baru menyadari bahwa dia berubah, apa aku berbuat salah padanya? Tapi sudahlah, hal semacam itu tak penting untuk aku pikirkan saat ini. Lagi pula, hampir semua orang begitu datang dan pergi sesukanya, hanya mau mengenal masa pasangnya saja tapi tak mau mengenal masa surutnya. Toh, ada tidaknya dia tak terlalu berpengaruh juga padaku. Selama ini aku merasa selalu sendiri mungkin tak terlalu sendiri saat semuanya masih baik-baik saja dan akan kembali sendiripun tak akan jauh berbeda. Sampai saat ini yang menjadi pikiranku mengenai masalah ini hanya satu yaitu apa yang menjadi penyebab atas berubahnya ia menjadi seperti sekarang ini. Hanya itu tak ada yang lain.
            Aku tak tahu apa yang sebanarnya aku inginkan dan apa yang harus aku lakukan. Seberapapun orang mengenalku tak akan bisa mengenal baik selain diriku sendiri. Maka jika ada yang berkata “aku mengenalmu dengan baik sebaik aku mengenal diriku sendiri” lalu akan ku jawab “lebih baik kau tak usah mengenalku jika caranya seperti itu”.
Mengapa seperti itu? Karena, bukankah ia menyamakan diriku dengan dirinya yang berarti sebenarnya dia tidak pernah mengenalku tapi hanya mengenal aku dari balik bayangannya saja, daripada seperti itu lebih baik tak usah lah kau mengenalku dari awal karena pada akhirnyapun kau tidak akan bisa mengenalku dan hanya akan menemukan gambaran diriku yang kau lukiskan dengan egomu.
Dulu memang aku seperti putri tapi sekarang seperti seorang penelana yang sedang mencari jati diri sendirian, terbawa arus kehidupan, terombang-ambing di lautan hingga terkadang seperti debu yang diterbangkan angin.
Orang bilang dia bijaksana, memang. Tapi seperti yang pernah aku katakan sebelumnya ia seperti orang yang sedang kehausan di tengah lautan, ia bijaksana juga pintar tapi ia masih tak bijaksana dalam menempatkan dirinya. Terkadang aku berpikir apa dia memang bijak karena seringnya dia membuat pilihan yang ia sangka hanya benar dan berakibat bagi semua. Tapi dia salah, hal yang ia pikirkan malah jauh bertolak belakang dengan kenyatan yang ada. Ia membuat pilihan yang salah, banyak yang kecewa terhadap apa yang telah dia katakan. Dika sangatlah idealis tapi dia tak cukup mampu untuk merealisasikan keidealisannya itu, hingga ia hanya berkubang sendirian di dalamnya, karena tak pernah mau membagi masalah atupun memberikan alasannya jika memang tak mau bercerita. Tapi, bagaimana orang mau mengerti dirimu sedangkan kau tak memberikan jalan untuknya agar dapat memahamimu.
Dan mengenai janji yang belum kau tepati, seperti katamu “aku akan memberikan kepercayaanku lebih” tapi pada kenyataanya  you’r a liar!!  Entahlah biarkan mereka sesuka hati  menilai apa yang sedang aku rasa dan pikirkan. Tentang dika atau segala sesuatu mengenai dia, juga mengenai sifat dan tutur kataku. Terkadang aku bingung harus menggambarkan diriku seperti apa? agar mereka tahu bagaimana aku sebenarnya tanpa topeng juga sampul belaka. Karena aku terlalu sering bersandiwara untuk menutupi bagaimana aku dan hatiku, muak sebenarnya!!  Mau bagaimana lagi, aku terlalu rapuh tanpa topeng, seperti vampire yang akan terbakar disiang hari tanpa adanya bayang-bayang yang melindunginya.
Apa kalian tahu bagaimana rasanya kecewa? Apa hatimu sakit saat dikecewakan? Pasti, tapi tak mudah untuk digambarkan. Bagai sutera yang dipotong dengan pisau berkarat, rasanya begitu sakit, mengganggu tenangnya hati dan pikiran. Walau begitu ingin kecewa pada siapa? sedangkan aku tak ada hak untuk kecewa siapapun. Marah, marah pada siapa? sedangkan masalah tak akan bisa diselesaikan dengan emosi. Menangis, menangis untuk apa? lagipula aku sudah cukup lelah untuk menangis.  Pernahkah kau berpikir, terkadang hal-hal yang menurut kalian sederhana adalah suatu hal yang rumit bagiku, karena kalian menganggap itu hal yang sepele-lah, jadi tak dapat mengerti apalagi memberimu saran atau nasehat. Karena, kenapa? kalian tidak pernah merasakan apa yang pernah aku rasakan.                                                                                                   Karena tak ada orang yang dapat mengerti kita jika mereka sendiri belum pernah merasakan hal yang sama.
Hmmm….  Sudah sejauh ini tapi kalian belum tahu namaku. Aku Asyifa Mazaya Azatti berbadan tinggi, bermata sipit dan berwajah tak terlalu bulat, panggil saja Syifa. Nama pemberian dari orang yang ia sayangi  jauh sebelum mengenal dika.
Namanya Awan, Awan Pangestu. Berbadan tidak terlalu tinggi untuk ukuran laki-laki  tapi dia berkepribadian lembut, pengertian dan tentunya pintar. Syifa berjumpa dengan Awan untuk pertama kalinya saat diadakan seleksi Lomba Cepat Tepat Biologi di kelas XI IPS1. Saat itu Syifa adalah seorang siswi semester pertama tahun pertama di SMAN 3 Bogor dengan pribadi polos dan pendiam itu mulai mengagumi sosok yang bernama Awan saat ia sedang memakai kacamata.
 “kakak itu memiliki raut muka yang menenangkan. Begitu tenang, setenang saat aku melihat langit biru bersih tak berawan. Membuat hati ini seakan terbang ke sana.”. Gumam Syifa dalam hatinya. Terbuyarkan oleh kata-kata dari sang pujaan hati.
“mau permen?” tawarnya sambil tersenyum manis. Membuat atap kelas itu seakan-akan ambruk menindih tubuh kecilnya.                                                                Bagi Syifa, Awan bagaikan langit biru bersih tak berawan di mana setiap orang yang menatapnya tak akan mau berpaling karena rasa tenang yang ia ciptakan, meski langit mendung kelabu tapi baginya Awan  tetap langit yang biru.                                                                                                                                Beranjak dari peristiwa itu Syifa mulai sering memperhatikan tingkah laku Awan, dengan rasa yang bertambah penasaran ia pun mulai mencari nomor HP sang pujaan hati melalui senior yang ia kenal.
Nomorpun didapat.
“assalamu’alaikum J” dengan harap-harap cemas Syifa menunggu balasan dari Awan.
Tak lama waktu berselang sms dari sang pujaan hatipun datang, membuatnya senang bukan kepalang hampir-hampir rasa senang itu meletus menerobos ubun-ubunnya. Mungkin jika ada orang yang melihat ia saat itu, mereka akan tertawa karena wajahnya yang merah seperti tomat.
“wa’alaikumsalam J siapa ini?”
“ini aya ka, teman satu kelompok waktu seleksi.”
“oh aya tho, gimana ay UTSnya lancar?”
Kebetulan saat diadakannya seleksi,  Syifa dan seluruh siswa SMA itu sedang melaksanakan Ujian Tengah Semester.
Smspun terus berlanjut sampai hari berikut dan berikutnya. Hingga pada suatu hari ada kejadian di mana membuat teman satu kelas Syifa heran bukan main, mungkin mereka berpikir bagaimana caranya Syifa bisa dekat dengan Kakak kelas apalagi dia seorang lelaki sedangkan untuk akrab dengan teman cowok  satu kelaspun ia tak berani. Saat itu musim penghujan, hujan tak kunjung berhenti dari mentari belum datang hingga menjelang di atas kepala. Awan datang dengan buku fisika yang akan ia pinjamkan kepada Syifa, ia datang ke kelasnya tanpa mengenakan sepatu.
“sepatu kakak basah kena air hujan, jadi lebih baik dilepas. J
Alasan yang ia tuturkan mengapa tak mengenakan sepatu. Hingga Awan berlalu, Syifa masih tetap menatapi punggung sang pujaan hati. Hening dan sejuk terasa sampai ke hati. Namun rasa itu hilang saat suara gemuruh itu mengguncang kelasnya.
“cieeeeeeeeeeeeeee” suara mereka meledek.                                                            Saat kejadian itu terjadi, tak ada yang tak tahu mengenai siapa pujaan hatinya.
“lho kok Syifa kak? Memang dia siapa?”
“Syifa itu kamu, panggilan dari kakak sendiri Syifa J                                                  
Di minggu itulah ia dipanggil Syifa oleh Awan dan otomatis panggilan itu akan ia gunakan bagi yang lain juga, jadi tak hanya Awan yang memanggilnya Syifa.
Hingga suatu kejadian membuatnya patah hati untuk yang pertama kalinya dari cinta pertamanya. Saat itu, hari minggu januari 2011, HP yang Syifa miliki terjatuh di angkot saat hendak beranngkat ke sekolah. Saat itulah Syifa dan Awan hilang komunikasi untuk waktu yang cukup lama dan ditambah lagi sang pujaan hati memiliki seorang pacar yang menembah badmood adalah ia teman sekelas Awan sendiri, namanya Mega, senior Syifa waktu di SMP dulu walau tak begitu dekat memiliki perawakan pendek, kurus dan cantik. Padahal antara Syifa dan awan memiliki keakraban yang sangat dekat.
Walau begitu untuk waktu yang lama Syifa tetap menyimpan Awan dalam hati tak ada yang tahu seberapa dalam cinta yang dimilikinya terhadap Awan selain Allah dan dia sendiri, hingga siapapun orang yang mencoba berenang dalam lautan hatinya maka ia akan tenggelam karena cinta yang Syifa miliki begitu dalam dan belum ada yang mampu menguras air yang menggenang membentuk lautan di hati Syifa. Tapi hingga kini, hingga 3 tahun berikutnya cinta Syifa masih sedalam dulu. Meski Awan sudah terlampau berubah sekelam malam tapi tetap belum terganti.
Meski 1 tahun yang lalu ketika kesetiaan cinta Syifa yang tak kunjung menemui kepastian diuji dengan datangnya teman yang begitu baik, menghibur dan hangat, jauh dari sifat dingin yang Awan punya. Ia memperlakukan Syifa dengan baik, penuh perhatian dan kedewasaan tapi mengapa pula Syifa tak dapat memalingkan wajahnya dari wajah dingin Awan untuk menghadap wajah hangat Dika yang mampu membuatnya tersenyum semanis mawar yang mekar di pagi yang cerah hingga mampu meminggirkan Awan dalam beberapa menit saja.
Hingga dalam waktu yang cukup lama, Dika hampir merubah satu pola pikir Syifa tentang Awan yaitu Awan tak lagi secerah langit biru tapi lagit yang penuh dengan awan cumulus nimbus, awan yang membawa badai tapi Dika-lah yang hampir saja menjadi awan biru baginya. Dialah Fernandika Azzami.
Selama ia mengenal Dika, Syifa tak pernah melihat Dika tertawa atau tersenyum seaneh itu kepada orang lain kecuali padanya, sampai saat ia tertawa memerahlah mukanya hampir seperti udang goreng. Ia merasa senang karena dengan adanya Dika pikiran yang semula penuh tentang Awan berkurang menjadi 4% lebih sedikit, sedikit menyingkirkan awan mendung dan terganti dengan sinar hangat yang dibawa Dika. Walau banyak orang yang berpendapat bahwa ia adalah sosok cuek dan dingin tapi menurut Syifa justru sebaliknya, hangat dan penuh perhatian yang siap ia tumpahkan pada Syifa kapan saja walau Dika tak pernah menampakannya. Selalu ia berkata “tidak” saat Syifa menginginkan agar ia lebih ramah pada yang lain, terutama pada orang yang menyukainya, karena sikap cuek dari orang yang kita sukai akan terasa pahit . Banyak hal yang diceritakan tentang diri mereka masing-masing entah meminta saran, kritik atau mengungkapkan kekesalan untuk saling menenangkan satu dan lainnya. Saling terbuka dan percaya membuat mereka tak merasa canggung. Hari-hari terlewati begitu tenang bagi Syifa membuatnya berhenti sesaat memikirkan betapa rumitnya Awan.
Waktu terus berdetak melewati Syifa yang telah merasakan suatu hal yang berbeda. Fani, seorang junior dengan tingkat kepopuleran yang lumayan tinggi karena kecantikan yang ia miliki itu terus-terusan menghubungi Syifa membicarakan hal-hal yang ia pikir tak penting dan ia pun menyadari pula bahwa ada udang di balik batu.
Ternyata benar saja, Fani  mendekatinya hanya ingin mengorek informasi mengenai Dika, hanya mengenai Dika!!
“Ternyata Fani benar-benar menyukai Dika, aneh rasanya cewek sepopuler dia menyukai Dika yang biasa-biasa saja”. Gumam Syifa dalam hati.
Meminta Syifa untuk mendekatkan dia pada Dika. Syifa menurut, tapi apa respon yang diberikan Dika saat ia mengatakan hal tentang fani? Ia hanya tersenyum, sambil menatap mata Syifa sejenak dan seakan ada urat kecewa dalam tatapannya itu lalu ia pergi begitu saja. Entah apa yang dipikirkan Dika saat itu Syifa pun tak mengerti. Lantas Syifa menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi kepada Fani. Lalu ia menjawab “sudahlah, Kak Dika selalu cuek jika membalas smsku, dia sangatlah dingin padaku, dia memang tak suka padaku dari awal.” Katanya sambil air mata hendak turun dari pelupuk matanya. Padahal banyak lelaki yang mengantri untuk menjadi pacarnya tapi Fani tetap mengharapkan Dika. Ya, Dika.
“padahal pada kenyataannya dia tak dingin padaku, memang pada dasarnya ia cuek, tapi tidak sedingin yang ia bayangkan. Lagipula kenapa dia bisa menyukai Dika, bukankah ia biasa saja padahal Fani bisa tinggal memilih yang lain, kan sudah banyak yang ngantri.” Gumam Syifa dalam hati.
Hal itu membuat Fani jarang menghubunginya lagi, tak ada pertanyaan juga tak ada kata permintaan tolong. Syifa sadar, bahwa ia baru saja dimanfaatkan.
“kenapa dia memanfaatkanku, apa ada kaitannya aku dengan Dika? Padahal banyak teman yang lebih dekat dengan Dika jika memang ingin mengorek informasi tentangnya”.
Tak berselang begitu lama, Syifa merasa Dika menjadi dingin baginya, ia berpikir terkadang api pun ada masanya di mana ia akan segera padam. Mungkinkah karena karena Syifa sering bercerita tentang Fani pada Dika?
Kedekatan mereka berdua seperti batuan di luar angkasa, tak ada kontak sama sama sekali, karena harus ada gaya dari luar yang menyebabkan kerenggangan atau tubrukan itu dapat terjadi. Jadi, Syifa tak mengerti mengapa Dika bersikap dingin padanya.
“tapi mengapa? Mengapa semuanya begitu saja padam dengan mudahnya. Membolak-balikkan hatiku begitu saja semau mereka?” rintih Syifa dalam hati.
Hingga suatu hari sikap dingin yang diberikan Dika akhirnya menemui satu bukti. Ternyata sedang ada yang  menjadi ratu di hatinya, dia adalah junior Syifa juga.  Meski begitu, ia tak merasa kehilangan tapi merasa kalau ia sudah dimanfaatkan lagi. Saat sendiri Dika datang tapi saat ramai dia lupa punya teman bernama Syifa. Di saat itu juga Syifa meyakinkan dalam hati bahwa untuk apa teman seperti itu ada dan dipercayai. Teman yang hanya mengenal masa pasang tapi tapi tak mau mengenal masa surutnya.
“jadi omonganmu selama ini tentang teman hanya omong kosong belaka.” Gerutu Syifa dalam hati.
Kesal hati Syifa memikirkan hal itu, tapi datanglah kabar yang menyejukan hati Syifa datang dari sang pujaan hati, Awan. Terdengar kabar bahwa hubungan antara Awan dan Mega telah putus. Entah ia harus merasa senang atau sedih untuk menanggapi peristiwa ini. Senang karena kuncup pegharapannya pada Awan mulai mekar kembali, tapi sedih ketika ia mendengar alasan mengapa mereka putus yaitu karena Awan menganggap Mega sebagai gangguan dalam belajarnya tapi pada kenyataannya  Awan malah mendekati teman satu kampusnya yang lebih dari Mega.
“kasihan mbak Mega.” Renungnya
Walau Syifa sekarang lebih tahu bagaimana Awan sejatinya namun ia masih menganggap Awan sebagai langit birunya walau kini sudah lebih berawan. Sedangkan Mega, ia mencoba menjalin hubungan baru dengan Radit teman satu kelas Syifa dan dari raditlah Syifa tahu bahwa Dika adalah sosok arogan yang suka menaklukan sesuatu yang menurutnya adalah sebuah tantangan tapi kemudian ia gletakan begitu saja setelah mendapatkannya. Ternyata teman dari mmantan radit adalah Nia dan Nia adalah sang mantan ratu di hati Dika berbadan agak gemuk dengan kulit sawo matang.
Tak membutuhkan waktu yang lama dari pencopotan gelar ratu bagi Nia, ia mencoba mendekati Syifa dengan bersikap baik dan ramah padanya entah apa maksud di balik sikapnya yang seperti itu, benar-benar tulus ataukah sama dengan apa yang pernah Fani lakukan dulu padanya, mencari informasi mengenai Dika karena Dikapun kembali baik seperti dulu pada Syifa. Tapi pada akhirnyapun  Nia berlenggang juga dari jalan Syifa dan tak meninggalkan jejak sedikitpun. Syifapun sudah mulai terbiasa dengan sifat Dika yang seperti itu, jadi ia sudah biasa saja dalam menanggapi masalah ini, mengenai Dika, Fani ataupun Nia. Karena mereka semua hobi meninggalkan Syifa dengan pikiran dan perasaan yang sedang di persimpangan jalan, sendirian.
kemudian, tak berselang begitu lama datanglah seorang teman Syifa yang bercerita bahwa ia menyukai Dika.
“hahh? Mengapa ini terjadi? Memangnya apa kaitanku dengannya sampai 3 orang menceritakan hal yang sama padaku. Mereka semua menyukai Dika.” Heran Syifa dalam hati.
Namanya Aliya tak terlalu tinggi juga tak terlalu pendek. Syifa berpikir keras-keras tentang apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia putusakan untuk membantunya menceritakan apa yang sedang ia rasakan kepada Dika,  tapi respon yang ia dapat sama dengan respon yang pernah Dika berikan sewaktu Syifa bercerita tentang Fani. Dika menjadi dingin lagi, menjauh lagi tapi kemudian datang lagi, pergi lagi dan saat dia pergi, Syifa tahu bahwa Dika sekarang menyukai saudaranya, Rima Malaya Azatti. Ia turut senang karena adiknya mendapat perhatian lebih dari orang lain, tapi ia juga takut kalau Dika akan meninggalkan Rima begitu saja. Sedangkan kondisi rima akhir-akhir ini memburuk karena suatu hal.”
Tapi entah rasa seperti apa yang Dika miliki terhadap Rima, Syifapun tak tahu.
Sampai kekuatiran Syifa pun terjadi, Dika mulai berlalu darinya. Syifa tak tahu masalah apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.
“aku mau Tanya.”
“iya boleh.”
“aku boleh minta tolong?”
“iya selama aku bisa. Apa?”
“entah masalah apa yang sedang kalian hadapi atau seberapapun kamu kecewa padanya, aku mohon jangan tinggalkan dia, kamu boleh pergi tapi tetap perhatikan dia. Dia butuh perhatianmu, pantau dia walau memang kau tak bisa di sini. Aku mohon. Sekali saja, ini adalah permintaanku padamu, aku mohon kau kabulkan. Kabulkan permintaanku yang ini. Aku mohon.” Pinta Syifa.
“aku ngga bisa, aku punya caraku sendiri.” Jawabnya dingin.
Begitulah Dika datang dan pergi sesukanya dalam kehidupan Syifa entah sebagai pemeran utama atau figuran yang sering sekali membuat Syifa merasa kecewa padanya dan untuk waktu yang sangat lama tak ada komunikasi di antara mereka berdua hinga suatu hari Dikapun kembali baik pada Syifa, rupa-rupanya Dika mencoba menyalakan api itu kembali. Tapi sayang, Syifa kini sedingin es, api yang coba Dika nyalakan tak akan bisa berkobar di dekatnya sebelum ia rubah pikiran buruk mengenai dirinya.
Kini pesona langit biru dengan ketenangan dan sinar hangatnya yang hampir pernah digelar oleh Dika seketika runtuh di mata Syifa dan mengenai Awan, meski cinta Syifa sedikit berkurang padanya meski masih begitu dalam ia tenggelam oleh cintanya pada Awan tapi untuk sekarang ia tak ingin mengungkit-ungkit cerita mengenai Awan ataupun Dika atau segala sesuatu mengenai mereka berdua, sampai saatnya ia merasa kuat untuk berdiri di atas kakinya lagi setelah beberapa kali terjatuh oleh rasakecewa yang menderanya dan mempermainkan kepercayaannya, karena baginya lebih mudah untuk tak menyerah dibanding dengan berdiri kembali saat ia terjatuh.
“tanpa memiliki kepercayaan dan keyakinan, kau tidak akan memiliki apapun. Karena itulah, aku percaya jika suatu saat nanti akan datang seseorang yang lebih baik yang akan menetap di hatiku tanpa pernah mengenal kata datang dan pergi dariku. Walau semua ini terjadi padaku, meski  hal-hal yang terkadang membuatku menangis, kecewa atau marah sekalipun tapi ini semua merupakan bagian dari pemandangan yang mewarnai perjalannan terjalku yang membuatnya semakin indah dan tak akan terlupakan. Selamanya.”


Related Articles

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Pages