Cerpen: Aku dan Mereka
Aku dan mereka
Hari yang
melelahkan nan panas semakin membuat aku bertambah kacau, ditambah lagi tak ada
kejelasan kabar dari dika akhir-akhir ini. Jika aku belum kehilangan ingatanku, Dika adalah orang yang berwibawa
dengan tubuh tinggi, berwatak keras, temperamental, cuek tapi penuh perhatian
dan penyayang.
Jika ingatanku masih waras, aku pikir dia berubah belakangan ini. Kenapa?
Menjadi tak seramah dulu dan sifatnya menjadi dingin.
Apakah aku melakukan sesuatu yang tidak waras? Aku rasa tidak, aku masih waras. Ahh..
entahlah
Seperti
berjalan di labirin kaleng di pulau kaleng tanpa ada tikus pencari milik Doraemon, berputar-putar pada hal yang sama tanpa tau ujungnya sebelah mana.
Mungkin
beberapa orang bertanya padaku, kenapa perubahannya membuat aku bertanya-tanya
mengenai hal itu, alasannya karena dia adalah temanku. Lalu mereka bertanya
lagi
Sebenarnya
apa dia memiliki rasa kepedulian terhadap yang lain sedangkan ia begitu dingin?
Entahlah, dia akan berpura-pura tak peduli seperti biasanya padahal di otaknya
dia memikirkan hal itu. Apa dia seseorang yang bijaksana? Tentu, tapi terkadang
aku berpikir kalau ia seperti pelaut yang kehausan di tengah lautan. Aku masih
tak mengerti jalan pikirannya. Ia pernah bertanya padaku “bagaimana aku
menurutmu?”
“kamu itu
rumit, nggak semua orang bisa memahamimu.” jawabku
Dulu jauh
sebelum ia berubah saat kita berbicara mengenai kepercayaan dia pernah berkata
“kalau kamu beri aku sedikit kepercayaan atau suatu hal lainnya, maka aku akan
memberimu hal yang sama bahkan lebih dari apa yang kamu bayangkan.” Saat ia
mengatakan hal itu, menurutku biasa saja. Aku pikir semua orang akan melakukan
hal yang sama jika kondisinya memang seperti itu.
Tapi tak
lama waktu berselang, setelah ia mengatakan hal itu padaku aku baru menyadari
perubahannya. Yah, cara berbicaranya dan semua tindak tanduknya padaku. Tak
pernah tertinggal kata “apa?” yang terucap dariku saat sedang bergurau
dengannya. Semakin halus ia bertutur kata, paham terhadap berbagai sifat baik
atau buruk ku dan semakin peduli terhadap hal-hal baik yang harus aku lakukan.
Wajar saja jika dalam pertemanan kita saling peduli dan menasehati dalam
kebaikan.
Tapi
temanpun manusia, terkadang tak bisa selalu ada untuk kita. Masih banyak yang
jauh lebih penting dari teman, mungkin. Terkadang ia pun datang dan pergi
begitu saja sesukanya, beberapa saat mendekat tapi tak begitu lama pula hilang
tanpa kabar. Tak enak juga bagiku jika kau seperti itu, teman. Satu hal lagi
mengenai dirimu kau terlalu keras untuk aku lunakan, jadi maaf jika aku belum
bisa membantumu menjadi yang lebih baik.
Bagiku,
setiap orang harus mempunyai pilihan dan setiap pilihan pasti ada akibatnya.
Begitu pula denganku, aku memilih untuk merubahnya maka aku harus terima setiap akibat dari
keputusanku, tentunya respon yang kurang baik dari dika atau dari orang lain.
Aku tahu niat baik ku ini mungkin menjadi aib bagiku, lantas bagaimana aku
harus meminta maaf padamu? Jika aku mau meluangkan sedikit waktuku untuk
berbicara dengannya dan sejenak melupakan kekesalanku padanya, maka aku akan
bertanya:
“ingatkah
engkau mengenai apa yang pernah kau ucapkan padaku bahwa jika aku memberimu
kepercayaan maka kau akan memberiku pula bahkan
lebih?”
Heuhhh..
Mengapa pula aku mau menanyakan hal sesederhana itu, harusnya aku membuat
pertanyaan yang lebih dari ini. Tapi sekarang, berbeda dengan dulu yang datang
dan pergi begitu saja, aku kira kini kau akan pergi untuk selamanya.
Innalillahi, bukan maksud aku ngira kalo kamu mau mati. :D
Tak ada
lagi kabar, tak lagi yang memberi semangat, tak ada lagi yang memberi nasihat,
saran juga kritik yang benar-benar membuatku bangkit menjadi yang lebih baik
serta tak ada lagi semua hal yang pernah kau berikan padaku dulu.
Agak aneh
rasanya saat aku baru menyadari bahwa dia berubah, apa aku berbuat salah
padanya? Tapi sudahlah, hal semacam itu tak penting untuk aku pikirkan saat
ini. Lagi pula, hampir semua orang begitu datang dan pergi sesukanya, hanya mau
mengenal masa pasangnya saja tapi tak mau mengenal masa surutnya. Toh, ada
tidaknya dia tak terlalu berpengaruh juga padaku. Selama ini aku merasa selalu
sendiri mungkin tak terlalu sendiri saat semuanya masih baik-baik saja dan akan
kembali sendiripun tak akan jauh berbeda. Sampai saat ini yang menjadi
pikiranku mengenai masalah ini hanya satu yaitu apa yang menjadi penyebab atas
berubahnya ia menjadi seperti sekarang ini. Hanya itu tak ada yang lain.
Aku tak tahu apa yang sebanarnya aku
inginkan dan apa yang harus aku lakukan. Seberapapun orang mengenalku tak akan
bisa mengenal baik selain diriku sendiri. Maka jika ada yang berkata “aku
mengenalmu dengan baik sebaik aku mengenal diriku sendiri” lalu akan ku jawab
“lebih baik kau tak usah mengenalku jika caranya seperti itu”.
Mengapa
seperti itu? Karena, bukankah ia menyamakan diriku dengan dirinya yang berarti
sebenarnya dia tidak pernah mengenalku tapi hanya mengenal aku dari balik
bayangannya saja, daripada seperti itu lebih baik tak usah lah kau mengenalku
dari awal karena pada akhirnyapun kau tidak akan bisa mengenalku dan hanya akan
menemukan gambaran diriku yang kau lukiskan dengan egomu.
Dulu
memang aku seperti putri tapi sekarang seperti seorang penelana yang sedang
mencari jati diri sendirian, terbawa arus kehidupan, terombang-ambing di lautan
hingga terkadang seperti debu yang diterbangkan angin.
Orang
bilang dia bijaksana, memang. Tapi seperti yang pernah aku katakan sebelumnya
ia seperti orang yang sedang kehausan di tengah lautan, ia bijaksana juga
pintar tapi ia masih tak bijaksana dalam menempatkan dirinya. Terkadang aku
berpikir apa dia memang bijak karena seringnya dia membuat pilihan yang ia
sangka hanya benar dan berakibat bagi semua. Tapi dia salah, hal yang ia
pikirkan malah jauh bertolak belakang dengan kenyatan yang ada. Ia membuat
pilihan yang salah, banyak yang kecewa terhadap apa yang telah dia katakan.
Dika sangatlah idealis tapi dia tak cukup mampu untuk merealisasikan
keidealisannya itu, hingga ia hanya berkubang sendirian di dalamnya, karena tak
pernah mau membagi masalah atupun memberikan alasannya jika memang tak mau
bercerita. Tapi, bagaimana orang mau mengerti dirimu sedangkan kau tak memberikan
jalan untuknya agar dapat memahamimu.
Dan
mengenai janji yang belum kau tepati, seperti katamu “aku akan memberikan
kepercayaanku lebih” tapi pada kenyataanya you’r a liar!! Entahlah biarkan mereka sesuka
hati menilai apa yang
sedang aku rasa dan pikirkan. Tentang dika atau segala sesuatu mengenai dia,
juga mengenai sifat dan tutur kataku. Terkadang aku bingung harus menggambarkan
diriku seperti apa? agar mereka tahu bagaimana aku sebenarnya tanpa topeng juga
sampul belaka. Karena aku terlalu sering bersandiwara untuk menutupi bagaimana
aku dan hatiku, muak sebenarnya!! Mau
bagaimana lagi, aku terlalu rapuh tanpa topeng, seperti vampire yang akan
terbakar disiang hari tanpa adanya bayang-bayang yang melindunginya.
Apa kalian tahu bagaimana rasanya kecewa? Apa hatimu sakit
saat dikecewakan? Pasti, tapi tak mudah untuk digambarkan. Bagai sutera yang
dipotong dengan pisau berkarat, rasanya begitu sakit, mengganggu tenangnya hati
dan pikiran. Walau begitu ingin kecewa pada siapa? sedangkan aku tak ada hak untuk
kecewa siapapun. Marah, marah pada siapa? sedangkan masalah tak akan bisa
diselesaikan dengan emosi. Menangis, menangis untuk apa? lagipula aku sudah
cukup lelah untuk menangis. Pernahkah
kau berpikir, terkadang hal-hal yang menurut kalian sederhana adalah suatu hal
yang rumit bagiku, karena kalian menganggap itu hal yang sepele-lah, jadi tak
dapat mengerti apalagi memberimu saran atau nasehat. Karena, kenapa? kalian
tidak pernah merasakan apa yang pernah aku
rasakan.
Karena tak ada orang yang dapat mengerti kita jika mereka
sendiri belum pernah merasakan hal yang sama.
Hmmm…. Sudah sejauh ini tapi kalian belum
tahu namaku. Aku Asyifa Mazaya Azatti berbadan tinggi, bermata sipit dan
berwajah tak terlalu bulat, panggil saja Syifa. Nama pemberian dari orang yang
ia sayangi jauh sebelum
mengenal dika.
Namanya
Awan, Awan Pangestu. Berbadan tidak terlalu tinggi untuk ukuran laki-laki tapi dia berkepribadian lembut,
pengertian dan tentunya pintar. Syifa berjumpa dengan Awan untuk pertama
kalinya saat diadakan seleksi Lomba Cepat Tepat Biologi di kelas XI IPS1. Saat
itu Syifa adalah seorang siswi semester pertama tahun pertama di SMAN 3 Bogor
dengan pribadi polos dan pendiam itu mulai mengagumi sosok yang bernama Awan
saat ia sedang memakai kacamata.
“kakak
itu memiliki raut muka yang menenangkan. Begitu tenang, setenang saat aku
melihat langit biru bersih tak berawan. Membuat hati ini seakan terbang ke
sana.”. Gumam Syifa dalam hatinya. Terbuyarkan oleh kata-kata dari sang pujaan
hati.
“mau
permen?” tawarnya sambil tersenyum manis. Membuat atap kelas itu seakan-akan
ambruk menindih tubuh kecilnya. Bagi
Syifa, Awan bagaikan langit biru bersih tak berawan di mana setiap orang yang
menatapnya tak akan mau berpaling karena rasa tenang yang ia ciptakan, meski
langit mendung kelabu tapi baginya Awan tetap
langit yang biru. Beranjak
dari peristiwa itu Syifa mulai sering memperhatikan tingkah laku Awan, dengan
rasa yang bertambah penasaran ia pun mulai mencari nomor HP sang pujaan hati
melalui senior yang ia kenal.
Nomorpun
didapat.
“assalamu’alaikum J” dengan harap-harap cemas Syifa
menunggu balasan dari Awan.
Tak lama
waktu berselang sms dari sang pujaan hatipun datang, membuatnya senang bukan
kepalang hampir-hampir rasa senang itu meletus menerobos ubun-ubunnya. Mungkin
jika ada orang yang melihat ia saat itu, mereka akan tertawa karena wajahnya
yang merah seperti tomat.
“wa’alaikumsalam J siapa ini?”
“ini aya
ka, teman satu kelompok waktu seleksi.”
“oh aya
tho, gimana ay UTSnya lancar?”
Kebetulan
saat diadakannya seleksi, Syifa
dan seluruh siswa SMA itu sedang melaksanakan Ujian Tengah Semester.
Smspun
terus berlanjut sampai hari berikut dan berikutnya. Hingga pada suatu hari ada
kejadian di mana membuat teman satu kelas Syifa heran bukan main, mungkin
mereka berpikir bagaimana caranya Syifa bisa dekat dengan Kakak kelas apalagi
dia seorang lelaki sedangkan untuk akrab dengan teman cowok satu kelaspun ia tak berani.
Saat itu musim penghujan, hujan tak kunjung berhenti dari mentari belum datang
hingga menjelang di atas kepala. Awan datang dengan buku fisika yang akan ia
pinjamkan kepada Syifa, ia datang ke kelasnya tanpa mengenakan sepatu.
“sepatu
kakak basah kena air hujan, jadi lebih baik dilepas. J”
Alasan
yang ia tuturkan mengapa tak mengenakan sepatu. Hingga Awan berlalu, Syifa
masih tetap menatapi punggung sang pujaan hati. Hening dan sejuk terasa sampai
ke hati. Namun rasa itu hilang saat suara gemuruh itu mengguncang kelasnya.
“cieeeeeeeeeeeeeee”
suara mereka meledek. Saat
kejadian itu terjadi, tak ada yang tak tahu mengenai siapa pujaan hatinya.
“lho kok Syifa
kak? Memang dia siapa?”
“Syifa
itu kamu, panggilan dari kakak sendiri Syifa J”
Di minggu
itulah ia dipanggil Syifa oleh Awan dan otomatis panggilan itu akan ia gunakan
bagi yang lain juga, jadi tak hanya Awan yang memanggilnya Syifa.
Hingga
suatu kejadian membuatnya patah hati untuk yang pertama kalinya dari cinta
pertamanya. Saat itu, hari minggu januari 2011, HP yang Syifa miliki terjatuh
di angkot saat hendak beranngkat ke sekolah. Saat itulah Syifa dan Awan hilang
komunikasi untuk waktu yang cukup lama dan ditambah lagi sang pujaan hati
memiliki seorang pacar yang menembah badmood adalah ia teman sekelas Awan
sendiri, namanya Mega, senior Syifa waktu di SMP dulu walau tak begitu dekat
memiliki perawakan pendek, kurus dan cantik. Padahal antara Syifa dan awan
memiliki keakraban yang sangat dekat.
Walau
begitu untuk waktu yang lama Syifa tetap menyimpan Awan dalam hati tak ada yang
tahu seberapa dalam cinta yang dimilikinya terhadap Awan selain Allah dan dia
sendiri, hingga siapapun orang yang mencoba berenang dalam lautan hatinya maka
ia akan tenggelam karena cinta yang Syifa miliki begitu dalam dan belum ada
yang mampu menguras air yang menggenang membentuk lautan di hati Syifa. Tapi
hingga kini, hingga 3 tahun berikutnya cinta Syifa masih sedalam dulu. Meski
Awan sudah terlampau berubah sekelam malam tapi tetap belum terganti.
Meski 1
tahun yang lalu ketika kesetiaan cinta Syifa yang tak kunjung menemui kepastian
diuji dengan datangnya teman yang begitu baik, menghibur dan hangat, jauh dari
sifat dingin yang Awan punya. Ia memperlakukan Syifa dengan baik, penuh
perhatian dan kedewasaan tapi mengapa pula Syifa tak dapat memalingkan wajahnya
dari wajah dingin Awan untuk menghadap wajah hangat Dika yang mampu membuatnya
tersenyum semanis mawar yang mekar di pagi yang cerah hingga mampu meminggirkan
Awan dalam beberapa menit saja.
Hingga
dalam waktu yang cukup lama, Dika hampir merubah satu pola pikir Syifa tentang
Awan yaitu Awan tak lagi secerah langit biru tapi lagit yang penuh dengan awan
cumulus nimbus, awan yang membawa badai tapi Dika-lah yang hampir saja menjadi
awan biru baginya. Dialah Fernandika Azzami.
Selama ia
mengenal Dika, Syifa tak pernah melihat Dika tertawa atau tersenyum seaneh itu
kepada orang lain kecuali padanya, sampai saat ia tertawa memerahlah mukanya
hampir seperti udang goreng. Ia merasa senang karena dengan adanya Dika pikiran
yang semula penuh tentang Awan berkurang menjadi 4% lebih sedikit, sedikit
menyingkirkan awan mendung dan terganti dengan sinar hangat yang dibawa Dika.
Walau banyak orang yang berpendapat bahwa ia adalah sosok cuek dan dingin tapi
menurut Syifa justru sebaliknya, hangat dan penuh perhatian yang siap ia
tumpahkan pada Syifa kapan saja walau Dika tak pernah menampakannya. Selalu ia
berkata “tidak” saat Syifa menginginkan agar ia lebih ramah pada yang lain,
terutama pada orang yang menyukainya, karena sikap cuek dari orang yang kita
sukai akan terasa pahit . Banyak hal yang diceritakan tentang diri mereka
masing-masing entah meminta saran, kritik atau mengungkapkan kekesalan untuk
saling menenangkan satu dan lainnya. Saling terbuka dan percaya membuat mereka
tak merasa canggung. Hari-hari terlewati begitu tenang bagi Syifa membuatnya
berhenti sesaat memikirkan betapa rumitnya Awan.
Waktu
terus berdetak melewati Syifa yang telah merasakan suatu hal yang berbeda.
Fani, seorang junior dengan tingkat kepopuleran yang lumayan tinggi karena
kecantikan yang ia miliki itu terus-terusan menghubungi Syifa membicarakan
hal-hal yang ia pikir tak penting dan ia pun menyadari pula bahwa ada udang di
balik batu.
Ternyata
benar saja, Fani mendekatinya
hanya ingin mengorek informasi mengenai Dika, hanya mengenai Dika!!
“Ternyata
Fani benar-benar menyukai Dika, aneh rasanya cewek sepopuler dia menyukai Dika
yang biasa-biasa saja”. Gumam Syifa dalam hati.
Meminta Syifa
untuk mendekatkan dia pada Dika. Syifa menurut, tapi apa respon yang diberikan
Dika saat ia mengatakan hal tentang fani? Ia hanya tersenyum, sambil menatap
mata Syifa sejenak dan seakan ada urat kecewa dalam tatapannya itu lalu ia
pergi begitu saja. Entah apa yang dipikirkan Dika saat itu Syifa pun tak
mengerti. Lantas Syifa menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi kepada Fani.
Lalu ia menjawab “sudahlah, Kak Dika selalu cuek jika membalas smsku, dia
sangatlah dingin padaku, dia memang tak suka padaku dari awal.” Katanya sambil
air mata hendak turun dari pelupuk matanya. Padahal banyak lelaki yang
mengantri untuk menjadi pacarnya tapi Fani tetap mengharapkan Dika. Ya, Dika.
“padahal
pada kenyataannya dia tak dingin padaku, memang pada dasarnya ia cuek, tapi
tidak sedingin yang ia bayangkan. Lagipula kenapa dia bisa menyukai Dika,
bukankah ia biasa saja padahal Fani bisa tinggal memilih yang lain, kan sudah
banyak yang ngantri.” Gumam Syifa dalam hati.
Hal itu
membuat Fani jarang menghubunginya lagi, tak ada pertanyaan juga tak ada kata
permintaan tolong. Syifa sadar, bahwa ia baru saja dimanfaatkan.
“kenapa
dia memanfaatkanku, apa ada kaitannya aku dengan Dika? Padahal banyak teman
yang lebih dekat dengan Dika jika memang ingin mengorek informasi tentangnya”.
Tak
berselang begitu lama, Syifa merasa Dika menjadi dingin baginya, ia berpikir
terkadang api pun ada masanya di mana ia akan segera padam. Mungkinkah karena
karena Syifa sering bercerita tentang Fani pada Dika?
Kedekatan
mereka berdua seperti batuan di luar angkasa, tak ada kontak sama sama sekali,
karena harus ada gaya dari luar yang menyebabkan kerenggangan atau tubrukan itu
dapat terjadi. Jadi, Syifa tak mengerti mengapa Dika bersikap dingin padanya.
“tapi
mengapa? Mengapa semuanya begitu saja padam dengan mudahnya. Membolak-balikkan
hatiku begitu saja semau mereka?” rintih Syifa dalam hati.
Hingga
suatu hari sikap dingin yang diberikan Dika akhirnya menemui satu bukti.
Ternyata sedang ada yang menjadi
ratu di hatinya, dia adalah junior Syifa juga. Meski begitu, ia tak merasa kehilangan
tapi merasa kalau ia sudah dimanfaatkan lagi. Saat sendiri Dika datang tapi
saat ramai dia lupa punya teman bernama Syifa. Di saat itu juga Syifa
meyakinkan dalam hati bahwa untuk apa teman seperti itu ada dan dipercayai.
Teman yang hanya mengenal masa pasang tapi tapi tak mau mengenal masa surutnya.
“jadi
omonganmu selama ini tentang teman hanya omong kosong belaka.” Gerutu Syifa
dalam hati.
Kesal
hati Syifa memikirkan hal itu, tapi datanglah kabar yang menyejukan hati Syifa
datang dari sang pujaan hati, Awan. Terdengar kabar bahwa hubungan antara Awan
dan Mega telah putus. Entah ia harus merasa senang atau sedih untuk menanggapi
peristiwa ini. Senang karena kuncup pegharapannya pada Awan mulai mekar
kembali, tapi sedih ketika ia mendengar alasan mengapa mereka putus yaitu
karena Awan menganggap Mega sebagai gangguan dalam belajarnya tapi pada
kenyataannya Awan malah
mendekati teman satu kampusnya yang lebih dari Mega.
“kasihan
mbak Mega.” Renungnya
Walau Syifa
sekarang lebih tahu bagaimana Awan sejatinya namun ia masih menganggap Awan
sebagai langit birunya walau kini sudah lebih berawan. Sedangkan Mega, ia
mencoba menjalin hubungan baru dengan Radit teman satu kelas Syifa dan dari
raditlah Syifa tahu bahwa Dika adalah sosok arogan yang suka menaklukan sesuatu
yang menurutnya adalah sebuah tantangan tapi kemudian ia gletakan begitu saja
setelah mendapatkannya. Ternyata teman dari mmantan radit adalah Nia dan Nia
adalah sang mantan ratu di hati Dika berbadan agak gemuk dengan kulit sawo
matang.
Tak
membutuhkan waktu yang lama dari pencopotan gelar ratu bagi Nia, ia mencoba
mendekati Syifa dengan bersikap baik dan ramah padanya entah apa maksud di
balik sikapnya yang seperti itu, benar-benar tulus ataukah sama dengan apa yang
pernah Fani lakukan dulu padanya, mencari informasi mengenai Dika karena
Dikapun kembali baik seperti dulu pada Syifa. Tapi pada akhirnyapun Nia berlenggang juga dari jalan Syifa
dan tak meninggalkan jejak sedikitpun. Syifapun sudah mulai terbiasa dengan
sifat Dika yang seperti itu, jadi ia sudah biasa saja dalam menanggapi masalah
ini, mengenai Dika, Fani ataupun Nia. Karena mereka semua hobi meninggalkan Syifa
dengan pikiran dan perasaan yang sedang di persimpangan jalan, sendirian.
kemudian,
tak berselang begitu lama datanglah seorang teman Syifa yang bercerita bahwa ia
menyukai Dika.
“hahh?
Mengapa ini terjadi? Memangnya apa kaitanku dengannya sampai 3 orang
menceritakan hal yang sama padaku. Mereka semua menyukai Dika.” Heran Syifa
dalam hati.
Namanya
Aliya tak terlalu tinggi juga tak terlalu pendek. Syifa berpikir keras-keras
tentang apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia putusakan untuk membantunya
menceritakan apa yang sedang ia rasakan kepada Dika, tapi respon yang ia dapat sama dengan
respon yang pernah Dika berikan sewaktu Syifa bercerita tentang Fani. Dika
menjadi dingin lagi, menjauh lagi tapi kemudian datang lagi, pergi lagi dan
saat dia pergi, Syifa tahu bahwa Dika sekarang menyukai saudaranya, Rima Malaya
Azatti. Ia turut senang karena adiknya mendapat perhatian lebih dari orang
lain, tapi ia juga takut kalau Dika akan meninggalkan Rima begitu saja.
Sedangkan kondisi rima akhir-akhir ini memburuk karena suatu hal.”
Tapi
entah rasa seperti apa yang Dika miliki terhadap Rima, Syifapun tak tahu.
Sampai
kekuatiran Syifa pun terjadi, Dika mulai berlalu darinya. Syifa tak tahu
masalah apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.
“aku mau
Tanya.”
“iya
boleh.”
“aku
boleh minta tolong?”
“iya
selama aku bisa. Apa?”
“entah
masalah apa yang sedang kalian hadapi atau seberapapun kamu kecewa padanya, aku
mohon jangan tinggalkan dia, kamu boleh pergi tapi tetap perhatikan dia. Dia
butuh perhatianmu, pantau dia walau memang kau tak bisa di sini. Aku mohon.
Sekali saja, ini adalah permintaanku padamu, aku mohon kau kabulkan. Kabulkan
permintaanku yang ini. Aku mohon.” Pinta Syifa.
“aku ngga
bisa, aku punya caraku sendiri.” Jawabnya dingin.
Begitulah
Dika datang dan pergi sesukanya dalam kehidupan Syifa entah sebagai pemeran utama
atau figuran yang sering sekali membuat Syifa merasa kecewa padanya dan untuk
waktu yang sangat lama tak ada komunikasi di antara mereka berdua hinga suatu
hari Dikapun kembali baik pada Syifa, rupa-rupanya Dika mencoba menyalakan api
itu kembali. Tapi sayang, Syifa kini sedingin es, api yang coba Dika nyalakan
tak akan bisa berkobar di dekatnya sebelum ia rubah pikiran buruk mengenai
dirinya.
Kini
pesona langit biru dengan ketenangan dan sinar hangatnya yang hampir pernah
digelar oleh Dika seketika runtuh di mata Syifa dan mengenai Awan, meski cinta Syifa
sedikit berkurang padanya meski masih begitu dalam ia tenggelam oleh cintanya
pada Awan tapi untuk sekarang ia tak ingin mengungkit-ungkit cerita mengenai
Awan ataupun Dika atau segala sesuatu mengenai mereka berdua, sampai saatnya ia
merasa kuat untuk berdiri di atas kakinya lagi setelah beberapa kali terjatuh
oleh rasakecewa yang menderanya dan mempermainkan kepercayaannya, karena
baginya lebih mudah untuk tak menyerah dibanding dengan berdiri kembali saat ia
terjatuh.
“tanpa
memiliki kepercayaan dan keyakinan, kau tidak akan memiliki apapun. Karena
itulah, aku percaya jika suatu saat nanti akan datang seseorang yang lebih baik
yang akan menetap di hatiku tanpa pernah mengenal kata datang dan pergi dariku.
Walau semua ini terjadi padaku, meski hal-hal
yang terkadang membuatku menangis, kecewa atau marah sekalipun tapi ini semua
merupakan bagian dari pemandangan yang mewarnai perjalannan terjalku yang
membuatnya semakin indah dan tak akan terlupakan. Selamanya.”
Hari yang melelahkan nan panas semakin membuat aku
bertambah kacau, ditambah lagi tak ada kejelasan kabar dari dika akhir-akhir
ini. Dika adalah orang yang berwibawa dengan tubuh tinggi, berwatak keras,
temperamental, cuek tapi penuh perhatian dan penyayang yang membuat aku merasa
seperti seorang putri.
Padahal
ada suatu hal yang terjadi akhir-akhir ini, ingin sekali tanyakan mengapa ia
berubah. Berubah menjadi tak seramah dulu dan menjadi sedingin es, mungkinkah
karena aku yang lebih dahulu bersifat dingin padanya? Aku rasa tidak. Ahh..
entahlah, mungkin dia memang tahu bagaimana aku lebih dari yang lain, tapi apa ia tahu
mengapa aku tak jua menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi bahwa aku terlalu
kecewa atas apa yang telah ia lakukan terhadapku dan bukan hanya aku.
Ahh,
mengapa serumit ini!!! Seperti
berjalan di labirin kaleng di pulau kaleng tanpa ada tikus pencari milik
doraemon, rumitt dan aku tak tahu apakah ada orang yang pernah merasa seperti
di posisiku sekarang ini dan tahu kejadian yang sebenarnya terjadi. Huaahhh …
Mungkin
beberapa orang bertanya padaku, kenapa perubahannya membuat aku bertanya-tanya
mengenai hal itu, alasannya karena dia adalah temanku. Lalu mereka bertanya
lagi
Sebenarnya
apa dia memiliki rasa kepedulian terhadap yang lain sedangkan ia begitu dingin?
Entahlah, dia akan berpura-pura tak peduli seperti biasanya padahal di otaknya
dia memikirkan hal itu. Apa dia seseorang yang bijaksana? Tentu, tapi terkadang
aku berpikir kalau ia seperti pelaut yang kehausan di tengah lautan. Aku masih
tak mengerti jalan pikirannya. Ia pernah bertanya padaku “bagaimana aku
menurutmu?” “kamu
itu rumit, nggak semua orang bisa memahamimu.” jawabku
Dulu jauh
sebelum ia berubah saat kita berbicara mengenai kepercayaan dia pernah berkata
“kalau kamu beri aku sedikit kepercayaan atau suatu hal lainnya, maka aku akan
memberimu hal yang sama bahkan lebih dari apa yang kamu bayangkan.” Saat ia
mengatakan hal itu, menurutku biasa saja. Aku pikir semua orang akan melakukan
hal yang sama jika kondisinya memang seperti itu.
Tapi tak
lama waktu berselang, setelah ia mengatakan hal itu padaku aku baru menyadari
perubahannya. Yah, cara berbicaranya dan semua tindak tanduknya padaku. Tak
pernah tertinggal kata “apa?” yang terucap dariku saat sedang bergurau
dengannya. Semakin halus ia bertutur kata, paham terhadap berbagai sifat baik
atau buruk ku dan semakin peduli terhadap hal-hal baik yang harus aku lakukan.
Wajar saja jika dalam pertemanan kita saling peduli dan menasehati dalam
kebaikan.
Tapi
temanpun manusia, terkadang tak bisa selalu ada untuk kita. Masih banyak yang
jauh lebih penting dari teman, mungkin. Terkadang ia pun datang dan pergi
begitu saja sesukanya, beberapa saat mendekat tapi tak begitu lama pula hilang
tanpa kabar. Tak enak juga bagiku jika kau seperti itu, teman. Satu hal lagi
mengenai dirimu kau terlalu keras untuk aku lunakan, jadi maaf jika aku belum
bisa membantumu menjadi yang lebih baik.
Bagiku,
setiap orang harus mempunyai pilihan dan setiap pilihan pasti ada akibatnya.
Begitu pula denganku, aku memilih untuk merubahnya maka aku harus terima setiap akibat dari
keputusanku, tentunya respon yang kurang baik dari dika atau dari orang lain.
Aku tahu niat baik ku ini mungkin menjadi aib bagiku, lantas bagaimana aku
harus meminta maaf padamu? Jika aku mau meluangkan sedikit waktuku untuk
berbicara dengannya dan sejenak melupakan kekesalanku padanya, maka aku akan
bertanya: “ingatkah
engkau mengenai apa yang pernah kau ucapkan padaku bahwa jika aku memberimu
kepercayaan maka kau akan memberiku pula bahkan
lebih?” Heuhhh..
Mengapa pula aku mau menanyakan hal sesederhana itu, harusnya aku membuat
pertanyaan yang lebih dari ini. Tapi sekarang, berbeda dengan dulu yang datang
dan pergi begitu saja, aku kira kini kau akan pergi untuk selamanya.
Innalillahi, bukan maksud aku ngira kalo kamu mau mati. :D
Tak ada
lagi kabar, tak lagi yang memberi semangat, tak ada lagi yang memberi nasihat,
saran juga kritik yang benar-benar membuatku bangkit menjadi yang lebih baik
serta tak ada lagi semua hal yang pernah kau berikan padaku dulu.
Agak aneh
rasanya saat aku baru menyadari bahwa dia berubah, apa aku berbuat salah
padanya? Tapi sudahlah, hal semacam itu tak penting untuk aku pikirkan saat
ini. Lagi pula, hampir semua orang begitu datang dan pergi sesukanya, hanya mau
mengenal masa pasangnya saja tapi tak mau mengenal masa surutnya. Toh, ada
tidaknya dia tak terlalu berpengaruh juga padaku. Selama ini aku merasa selalu
sendiri mungkin tak terlalu sendiri saat semuanya masih baik-baik saja dan akan
kembali sendiripun tak akan jauh berbeda. Sampai saat ini yang menjadi
pikiranku mengenai masalah ini hanya satu yaitu apa yang menjadi penyebab atas
berubahnya ia menjadi seperti sekarang ini. Hanya itu tak ada yang lain.
Aku tak tahu apa yang sebanarnya aku
inginkan dan apa yang harus aku lakukan. Seberapapun orang mengenalku tak akan
bisa mengenal baik selain diriku sendiri. Maka jika ada yang berkata “aku
mengenalmu dengan baik sebaik aku mengenal diriku sendiri” lalu akan ku jawab
“lebih baik kau tak usah mengenalku jika caranya seperti itu”.
Mengapa
seperti itu? Karena, bukankah ia menyamakan diriku dengan dirinya yang berarti
sebenarnya dia tidak pernah mengenalku tapi hanya mengenal aku dari balik bayangannya
saja, daripada seperti itu lebih baik tak usah lah kau mengenalku dari awal
karena pada akhirnyapun kau tidak akan bisa mengenalku dan hanya akan menemukan
gambaran diriku yang kau lukiskan dengan egomu.
Dulu
memang aku seperti putri tapi sekarang seperti seorang penelana yang sedang
mencari jati diri sendirian, terbawa arus kehidupan, terombang-ambing di lautan
hingga terkadang seperti debu yang diterbangkan angin.
Orang
bilang dia bijaksana, memang. Tapi seperti yang pernah aku katakan sebelumnya
ia seperti orang yang sedang kehausan di tengah lautan, ia bijaksana juga
pintar tapi ia masih tak bijaksana dalam menempatkan dirinya. Terkadang aku
berpikir apa dia memang bijak karena seringnya dia membuat pilihan yang ia
sangka hanya benar dan berakibat bagi semua. Tapi dia salah, hal yang ia
pikirkan malah jauh bertolak belakang dengan kenyatan yang ada. Ia membuat
pilihan yang salah, banyak yang kecewa terhadap apa yang telah dia katakan.
Dika sangatlah idealis tapi dia tak cukup mampu untuk merealisasikan
keidealisannya itu, hingga ia hanya berkubang sendirian di dalamnya, karena tak
pernah mau membagi masalah atupun memberikan alasannya jika memang tak mau
bercerita. Tapi, bagaimana orang mau mengerti dirimu sedangkan kau tak
memberikan jalan untuknya agar dapat memahamimu.
Dan
mengenai janji yang belum kau tepati, seperti katamu “aku akan memberikan
kepercayaanku lebih” tapi pada kenyataanya you’r a liar!! Entahlah biarkan mereka sesuka
hati menilai apa yang
sedang aku rasa dan pikirkan. Tentang dika atau segala sesuatu mengenai dia,
juga mengenai sifat dan tutur kataku. Terkadang aku bingung harus menggambarkan
diriku seperti apa? agar mereka tahu bagaimana aku sebenarnya tanpa topeng juga
sampul belaka. Karena aku terlalu sering bersandiwara untuk menutupi bagaimana
aku dan hatiku, muak sebenarnya!! Mau
bagaimana lagi, aku terlalu rapuh tanpa topeng, seperti vampire yang akan
terbakar disiang hari tanpa adanya bayang-bayang yang melindunginya.
Apa kalian tahu bagaimana rasanya kecewa? Apa hatimu sakit
saat dikecewakan? Pasti, tapi tak mudah untuk digambarkan. Bagai sutera yang
dipotong dengan pisau berkarat, rasanya begitu sakit, mengganggu tenangnya hati
dan pikiran. Walau begitu ingin kecewa pada siapa? sedangkan aku tak ada hak
untuk kecewa siapapun. Marah, marah pada siapa? sedangkan masalah tak akan bisa
diselesaikan dengan emosi. Menangis, menangis untuk apa? lagipula aku sudah
cukup lelah untuk menangis. Pernahkah
kau berpikir, terkadang hal-hal yang menurut kalian sederhana adalah suatu hal
yang rumit bagiku, karena kalian menganggap itu hal yang sepele-lah, jadi tak
dapat mengerti apalagi memberimu saran atau nasehat. Karena, kenapa? kalian
tidak pernah merasakan apa yang pernah aku rasakan. Karena tak ada orang yang dapat
mengerti kita jika mereka sendiri belum pernah merasakan hal yang sama.
Hmmm…. Sudah sejauh ini tapi kalian belum tahu
namaku. Aku Asyifa Mazaya Azatti berbadan tinggi, bermata sipit dan berwajah
tak terlalu bulat, panggil saja Syifa. Nama pemberian dari orang yang ia
sayangi jauh sebelum
mengenal dika.
Namanya
Awan, Awan Pangestu. Berbadan tidak terlalu tinggi untuk ukuran laki-laki tapi dia berkepribadian lembut,
pengertian dan tentunya pintar. Syifa berjumpa dengan Awan untuk pertama
kalinya saat diadakan seleksi Lomba Cepat Tepat Biologi di kelas XI IPS1. Saat
itu Syifa adalah seorang siswi semester pertama tahun pertama di SMAN 3 Bogor
dengan pribadi polos dan pendiam itu mulai mengagumi sosok yang bernama Awan
saat ia sedang memakai kacamata.
“kakak
itu memiliki raut muka yang menenangkan. Begitu tenang, setenang saat aku
melihat langit biru bersih tak berawan. Membuat hati ini seakan terbang ke
sana.”. Gumam Syifa dalam hatinya. Terbuyarkan oleh kata-kata dari sang pujaan
hati.
“mau
permen?” tawarnya sambil tersenyum manis. Membuat atap kelas itu seakan-akan
ambruk menindih tubuh kecilnya. Bagi
Syifa, Awan bagaikan langit biru bersih tak berawan di mana setiap orang yang
menatapnya tak akan mau berpaling karena rasa tenang yang ia ciptakan, meski
langit mendung kelabu tapi baginya Awan tetap
langit yang biru. Beranjak
dari peristiwa itu Syifa mulai sering memperhatikan tingkah laku Awan, dengan
rasa yang bertambah penasaran ia pun mulai mencari nomor HP sang pujaan hati
melalui senior yang ia kenal.
Nomorpun
didapat.
“assalamu’alaikum J” dengan harap-harap cemas Syifa
menunggu balasan dari Awan.
Tak lama
waktu berselang sms dari sang pujaan hatipun datang, membuatnya senang bukan
kepalang hampir-hampir rasa senang itu meletus menerobos ubun-ubunnya. Mungkin
jika ada orang yang melihat ia saat itu, mereka akan tertawa karena wajahnya
yang merah seperti tomat.
“wa’alaikumsalam J siapa ini?”
“ini aya
ka, teman satu kelompok waktu seleksi.”
“oh aya
tho, gimana ay UTSnya lancar?”
Kebetulan
saat diadakannya seleksi, Syifa
dan seluruh siswa SMA itu sedang melaksanakan Ujian Tengah Semester.
Smspun
terus berlanjut sampai hari berikut dan berikutnya. Hingga pada suatu hari ada
kejadian di mana membuat teman satu kelas Syifa heran bukan main, mungkin
mereka berpikir bagaimana caranya Syifa bisa dekat dengan Kakak kelas apalagi
dia seorang lelaki sedangkan untuk akrab dengan teman cowok satu kelaspun ia tak berani.
Saat itu musim penghujan, hujan tak kunjung berhenti dari mentari belum datang
hingga menjelang di atas kepala. Awan datang dengan buku fisika yang akan ia
pinjamkan kepada Syifa, ia datang ke kelasnya tanpa mengenakan sepatu.
“sepatu
kakak basah kena air hujan, jadi lebih baik dilepas. J”
Alasan
yang ia tuturkan mengapa tak mengenakan sepatu. Hingga Awan berlalu, Syifa
masih tetap menatapi punggung sang pujaan hati. Hening dan sejuk terasa sampai
ke hati. Namun rasa itu hilang saat suara gemuruh itu mengguncang kelasnya.
“cieeeeeeeeeeeeeee”
suara mereka meledek. Saat
kejadian itu terjadi, tak ada yang tak tahu mengenai siapa pujaan hatinya.
“lho kok Syifa
kak? Memang dia siapa?”
“Syifa
itu kamu, panggilan dari kakak sendiri Syifa J”
Di minggu
itulah ia dipanggil Syifa oleh Awan dan otomatis panggilan itu akan ia gunakan
bagi yang lain juga, jadi tak hanya Awan yang memanggilnya Syifa.
Hingga
suatu kejadian membuatnya patah hati untuk yang pertama kalinya dari cinta
pertamanya. Saat itu, hari minggu januari 2011, HP yang Syifa miliki terjatuh
di angkot saat hendak beranngkat ke sekolah. Saat itulah Syifa dan Awan hilang
komunikasi untuk waktu yang cukup lama dan ditambah lagi sang pujaan hati
memiliki seorang pacar yang menembah badmood adalah ia teman sekelas Awan
sendiri, namanya Mega, senior Syifa waktu di SMP dulu walau tak begitu dekat
memiliki perawakan pendek, kurus dan cantik. Padahal antara Syifa dan awan
memiliki keakraban yang sangat dekat.
Walau
begitu untuk waktu yang lama Syifa tetap menyimpan Awan dalam hati tak ada yang
tahu seberapa dalam cinta yang dimilikinya terhadap Awan selain Allah dan dia
sendiri, hingga siapapun orang yang mencoba berenang dalam lautan hatinya maka
ia akan tenggelam karena cinta yang Syifa miliki begitu dalam dan belum ada
yang mampu menguras air yang menggenang membentuk lautan di hati Syifa. Tapi
hingga kini, hingga 3 tahun berikutnya cinta Syifa masih sedalam dulu. Meski
Awan sudah terlampau berubah sekelam malam tapi tetap belum terganti.
Meski 1
tahun yang lalu ketika kesetiaan cinta Syifa yang tak kunjung menemui kepastian
diuji dengan datangnya teman yang begitu baik, menghibur dan hangat, jauh dari
sifat dingin yang Awan punya. Ia memperlakukan Syifa dengan baik, penuh
perhatian dan kedewasaan tapi mengapa pula Syifa tak dapat memalingkan wajahnya
dari wajah dingin Awan untuk menghadap wajah hangat Dika yang mampu membuatnya
tersenyum semanis mawar yang mekar di pagi yang cerah hingga mampu meminggirkan
Awan dalam beberapa menit saja.
Hingga
dalam waktu yang cukup lama, Dika hampir merubah satu pola pikir Syifa tentang
Awan yaitu Awan tak lagi secerah langit biru tapi lagit yang penuh dengan awan
cumulus nimbus, awan yang membawa badai tapi Dika-lah yang hampir saja menjadi
awan biru baginya. Dialah Fernandika Azzami.
Selama ia
mengenal Dika, Syifa tak pernah melihat Dika tertawa atau tersenyum seaneh itu
kepada orang lain kecuali padanya, sampai saat ia tertawa memerahlah mukanya
hampir seperti udang goreng. Ia merasa senang karena dengan adanya Dika pikiran
yang semula penuh tentang Awan berkurang menjadi 4% lebih sedikit, sedikit
menyingkirkan awan mendung dan terganti dengan sinar hangat yang dibawa Dika.
Walau banyak orang yang berpendapat bahwa ia adalah sosok cuek dan dingin tapi
menurut Syifa justru sebaliknya, hangat dan penuh perhatian yang siap ia
tumpahkan pada Syifa kapan saja walau Dika tak pernah menampakannya. Selalu ia
berkata “tidak” saat Syifa menginginkan agar ia lebih ramah pada yang lain,
terutama pada orang yang menyukainya, karena sikap cuek dari orang yang kita
sukai akan terasa pahit . Banyak hal yang diceritakan tentang diri mereka
masing-masing entah meminta saran, kritik atau mengungkapkan kekesalan untuk
saling menenangkan satu dan lainnya. Saling terbuka dan percaya membuat mereka
tak merasa canggung. Hari-hari terlewati begitu tenang bagi Syifa membuatnya
berhenti sesaat memikirkan betapa rumitnya Awan.
Waktu
terus berdetak melewati Syifa yang telah merasakan suatu hal yang berbeda.
Fani, seorang junior dengan tingkat kepopuleran yang lumayan tinggi karena
kecantikan yang ia miliki itu terus-terusan menghubungi Syifa membicarakan
hal-hal yang ia pikir tak penting dan ia pun menyadari pula bahwa ada udang di
balik batu.
Ternyata
benar saja, Fani mendekatinya
hanya ingin mengorek informasi mengenai Dika, hanya mengenai Dika!!
“Ternyata
Fani benar-benar menyukai Dika, aneh rasanya cewek sepopuler dia menyukai Dika
yang biasa-biasa saja”. Gumam Syifa dalam hati.
Meminta Syifa
untuk mendekatkan dia pada Dika. Syifa menurut, tapi apa respon yang diberikan
Dika saat ia mengatakan hal tentang fani? Ia hanya tersenyum, sambil menatap
mata Syifa sejenak dan seakan ada urat kecewa dalam tatapannya itu lalu ia
pergi begitu saja. Entah apa yang dipikirkan Dika saat itu Syifa pun tak mengerti.
Lantas Syifa menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi kepada Fani. Lalu ia
menjawab “sudahlah, Kak Dika selalu cuek jika membalas smsku, dia sangatlah
dingin padaku, dia memang tak suka padaku dari awal.” Katanya sambil air mata
hendak turun dari pelupuk matanya. Padahal banyak lelaki yang mengantri untuk
menjadi pacarnya tapi Fani tetap mengharapkan Dika. Ya, Dika.
“padahal
pada kenyataannya dia tak dingin padaku, memang pada dasarnya ia cuek, tapi
tidak sedingin yang ia bayangkan. Lagipula kenapa dia bisa menyukai Dika,
bukankah ia biasa saja padahal Fani bisa tinggal memilih yang lain, kan sudah
banyak yang ngantri.” Gumam Syifa dalam hati.
Hal itu
membuat Fani jarang menghubunginya lagi, tak ada pertanyaan juga tak ada kata
permintaan tolong. Syifa sadar, bahwa ia baru saja dimanfaatkan.
“kenapa
dia memanfaatkanku, apa ada kaitannya aku dengan Dika? Padahal banyak teman
yang lebih dekat dengan Dika jika memang ingin mengorek informasi tentangnya”.
Tak
berselang begitu lama, Syifa merasa Dika menjadi dingin baginya, ia berpikir
terkadang api pun ada masanya di mana ia akan segera padam. Mungkinkah karena
karena Syifa sering bercerita tentang Fani pada Dika?
Kedekatan
mereka berdua seperti batuan di luar angkasa, tak ada kontak sama sama sekali,
karena harus ada gaya dari luar yang menyebabkan kerenggangan atau tubrukan itu
dapat terjadi. Jadi, Syifa tak mengerti mengapa Dika bersikap dingin padanya.
“tapi
mengapa? Mengapa semuanya begitu saja padam dengan mudahnya. Membolak-balikkan
hatiku begitu saja semau mereka?” rintih Syifa dalam hati.
Hingga
suatu hari sikap dingin yang diberikan Dika akhirnya menemui satu bukti.
Ternyata sedang ada yang menjadi
ratu di hatinya, dia adalah junior Syifa juga. Meski begitu, ia tak merasa kehilangan
tapi merasa kalau ia sudah dimanfaatkan lagi. Saat sendiri Dika datang tapi
saat ramai dia lupa punya teman bernama Syifa. Di saat itu juga Syifa
meyakinkan dalam hati bahwa untuk apa teman seperti itu ada dan dipercayai.
Teman yang hanya mengenal masa pasang tapi tapi tak mau mengenal masa surutnya.
“jadi
omonganmu selama ini tentang teman hanya omong kosong belaka.” Gerutu Syifa
dalam hati.
Kesal
hati Syifa memikirkan hal itu, tapi datanglah kabar yang menyejukan hati Syifa
datang dari sang pujaan hati, Awan. Terdengar kabar bahwa hubungan antara Awan
dan Mega telah putus. Entah ia harus merasa senang atau sedih untuk menanggapi
peristiwa ini. Senang karena kuncup pegharapannya pada Awan mulai mekar
kembali, tapi sedih ketika ia mendengar alasan mengapa mereka putus yaitu
karena Awan menganggap Mega sebagai gangguan dalam belajarnya tapi pada
kenyataannya Awan malah
mendekati teman satu kampusnya yang lebih dari Mega.
“kasihan
mbak Mega.” Renungnya
Walau Syifa
sekarang lebih tahu bagaimana Awan sejatinya namun ia masih menganggap Awan
sebagai langit birunya walau kini sudah lebih berawan. Sedangkan Mega, ia
mencoba menjalin hubungan baru dengan Radit teman satu kelas Syifa dan dari
raditlah Syifa tahu bahwa Dika adalah sosok arogan yang suka menaklukan sesuatu
yang menurutnya adalah sebuah tantangan tapi kemudian ia gletakan begitu saja
setelah mendapatkannya. Ternyata teman dari mmantan radit adalah Nia dan Nia
adalah sang mantan ratu di hati Dika berbadan agak gemuk dengan kulit sawo
matang.
Tak
membutuhkan waktu yang lama dari pencopotan gelar ratu bagi Nia, ia mencoba
mendekati Syifa dengan bersikap baik dan ramah padanya entah apa maksud di
balik sikapnya yang seperti itu, benar-benar tulus ataukah sama dengan apa yang
pernah Fani lakukan dulu padanya, mencari informasi mengenai Dika karena
Dikapun kembali baik seperti dulu pada Syifa. Tapi pada akhirnyapun Nia berlenggang juga dari jalan Syifa
dan tak meninggalkan jejak sedikitpun. Syifapun sudah mulai terbiasa dengan
sifat Dika yang seperti itu, jadi ia sudah biasa saja dalam menanggapi masalah
ini, mengenai Dika, Fani ataupun Nia. Karena mereka semua hobi meninggalkan Syifa
dengan pikiran dan perasaan yang sedang di persimpangan jalan, sendirian.
kemudian,
tak berselang begitu lama datanglah seorang teman Syifa yang bercerita bahwa ia
menyukai Dika.
“hahh?
Mengapa ini terjadi? Memangnya apa kaitanku dengannya sampai 3 orang
menceritakan hal yang sama padaku. Mereka semua menyukai Dika.” Heran Syifa
dalam hati.
Namanya
Aliya tak terlalu tinggi juga tak terlalu pendek. Syifa berpikir keras-keras
tentang apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia putusakan untuk membantunya
menceritakan apa yang sedang ia rasakan kepada Dika, tapi respon yang ia dapat sama dengan
respon yang pernah Dika berikan sewaktu Syifa bercerita tentang Fani. Dika
menjadi dingin lagi, menjauh lagi tapi kemudian datang lagi, pergi lagi dan
saat dia pergi, Syifa tahu bahwa Dika sekarang menyukai saudaranya, Rima Malaya
Azatti. Ia turut senang karena adiknya mendapat perhatian lebih dari orang lain,
tapi ia juga takut kalau Dika akan meninggalkan Rima begitu saja. Sedangkan
kondisi rima akhir-akhir ini memburuk karena suatu hal.”
Tapi
entah rasa seperti apa yang Dika miliki terhadap Rima, Syifapun tak tahu.
Sampai
kekuatiran Syifa pun terjadi, Dika mulai berlalu darinya. Syifa tak tahu
masalah apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.
“aku mau
Tanya.”
“iya
boleh.”
“aku
boleh minta tolong?”
“iya
selama aku bisa. Apa?”
“entah
masalah apa yang sedang kalian hadapi atau seberapapun kamu kecewa padanya, aku
mohon jangan tinggalkan dia, kamu boleh pergi tapi tetap perhatikan dia. Dia
butuh perhatianmu, pantau dia walau memang kau tak bisa di sini. Aku mohon.
Sekali saja, ini adalah permintaanku padamu, aku mohon kau kabulkan. Kabulkan
permintaanku yang ini. Aku mohon.” Pinta Syifa.
“aku ngga
bisa, aku punya caraku sendiri.” Jawabnya dingin.
Begitulah
Dika datang dan pergi sesukanya dalam kehidupan Syifa entah sebagai pemeran
utama atau figuran yang sering sekali membuat Syifa merasa kecewa padanya dan
untuk waktu yang sangat lama tak ada komunikasi di antara mereka berdua hinga
suatu hari Dikapun kembali baik pada Syifa, rupa-rupanya Dika mencoba
menyalakan api itu kembali. Tapi sayang, Syifa kini sedingin es, api yang coba
Dika nyalakan tak akan bisa berkobar di dekatnya sebelum ia rubah pikiran buruk
mengenai dirinya.
Kini
pesona langit biru dengan ketenangan dan sinar hangatnya yang hampir pernah
digelar oleh Dika seketika runtuh di mata Syifa dan mengenai Awan, meski cinta Syifa
sedikit berkurang padanya meski masih begitu dalam ia tenggelam oleh cintanya
pada Awan tapi untuk sekarang ia tak ingin mengungkit-ungkit cerita mengenai
Awan ataupun Dika atau segala sesuatu mengenai mereka berdua, sampai saatnya ia
merasa kuat untuk berdiri di atas kakinya lagi setelah beberapa kali terjatuh
oleh rasakecewa yang menderanya dan mempermainkan kepercayaannya, karena
baginya lebih mudah untuk tak menyerah dibanding dengan berdiri kembali saat ia
terjatuh.
“tanpa
memiliki kepercayaan dan keyakinan, kau tidak akan memiliki apapun. Karena
itulah, aku percaya jika suatu saat nanti akan datang seseorang yang lebih baik
yang akan menetap di hatiku tanpa pernah mengenal kata datang dan pergi dariku.
Walau semua ini terjadi padaku, meski hal-hal
yang terkadang membuatku menangis, kecewa atau marah sekalipun tapi ini semua
merupakan bagian dari pemandangan yang mewarnai perjalannan terjalku yang
membuatnya semakin indah dan tak akan terlupakan. Selamanya.”
0 comments:
Post a Comment