Thursday 3 April 2014

Aku Beruntung


Panas, ya kata yang tepat untuk mengungkapkan kota Jakarta siang ini. Setelah 45 menit bedesak – desakan di dalam KRL dari stasiun UI menuju Jakarta Kota, akhirnya kaki ini tak kuat lagi berdiri serta nafas yang mulai memendek. Semua itu dilakukan demi bisa pulang ke kampung halman. ke rumah. Kerata yang hendak membawaku pulang akan berangkat jam 11.30 siang itu. 

Setelah sampai di Kota, suasananya masih tetap penuh dan sesak, lebih sesak malah. Mungkin karena ada rombongan kampanye. Ternyata bukan, hanya rombongan anak – anak SD bersama guru – guru pembimbing mereka. Otomatis hal itu membuat aku harus mengantri lebih lama untuk menukarkan karcis. Setelah mengantri dengan perut yang terus menabuh genderang perang, tibalah saat untuk memasuki gerbong kereta yang akan membawaku menuju RUMAH, tapi aku lupa bahwa tempat dudukku ada di gerbong paling depan dari tempatku berdiri saat itu dan ditambah petugas yang berkoar dari speaker yang menempel di sisi – sisi tiang stasiun bahwa waktu pemberangkatan tinggal 10 menit lagi.

Lari, lari sekencang mungkin dan akhirnya sampai. Aku berdiri melongo di depan pintu gerbong. Betapa sesaknya kereta itu padahal gerbong sebelumnya lumayan kosong, yang lebih parah lagi AC mati. Itu rasanya seperti Ice Cream yang dioven. Di depanku duduk seorang laki-laki yang bertubuh besar beriringan bersama perempuan yang duduk di samping kirinya dengan mata yang merah dan sembab entah kenapa. Yah mungkin masalah rumah tangga. Aku tak paham.

Kebiasaanku adalah tidur sepanjang perjalanan. Namun, untuk pertama kalinya dari mulai naik hingga turun aku tidak terlelap satu detik pun. Bagaimana bisa aku tertidur sedangkan perempuan tadi menangis di hadapanku, deras air matanya mengalir. Tarnyata, sesak karena berhimpit-himpitan di kereta dan kepanasan yang menimpaku sebelumnya bahkan tidak ada secuil pun dari rasa sesak yang perempuan itu rasakan.

Ibu dari perempuan tersebut sedang dirawat di rumah sakit daln dalam kondisi koma. Mungkin Ia meminta maaf kepadaku kalau tangisnya mengganggu penumpang lain. Perempuan tersebut berusia 24 tahun, 5 tahun lebih tua dariku. Dia seorang magister teknik sipil dari sebuah universitas di Surabaya yang lulus hanya dalam waktu 2 tahun dan sekarang ia bekerja di sebuah pabrik baja di kawasan Pulogadung. Perempuan tersebut menceritakan bahwa neneknya terkena serangan jantung saat di pesawat untuk pergi umrah dan betapa sedihnya dia harus menunggu selama kurang lebih 18 jam di kereta untuk segera menemui ibunya karena tiket pesawat semuanya sudah habis. Ia juga berserita tentang kakak angkatnya, ibu tirinya, kisah meninggalnya ibu kandungnya, berapa rumah yang ia miliki, sampai perusahaan tempat dia bekerja yang dikuasai oleh cina.

Tangisnya mulai mereda. Sedikit raut mukanya sudah mulai sedikit tenang. Mungkin dengan bercerita dan didengarkan, membuat dia merasa lebih nyaman.
           
Kemudian seorang ibu-ibu berusia sekitar 60-an bertanya di mana kami akan turun. Sembari memberitahukan bahwa Ia sendiri akan turun di Surabaya. Lalu ibu itu berbicang – bincang kepada laki – laki di tempat duduk lain, mungkin itu rekannya. Ada hal yang membuat aku kaget dari perbincangan mereka. Perbincangan tentang politik. Tentang siapa yang korupsi, tentang partai, tentang gorong – gorong yang ada di bawah satu jalan di Surabaya yang dibangun pada zaman kolonial Belanda untuk mengantisipasi banjir yang kemudian gorong – gorong itu ditutup pada masa orde lama. Selain itu beliau berbicara tentang kemungkinan siapa yang akan menjadi presiden RI pada 2014 mendatang. Tentang kasus century yang masih mengambang. Tentang rantai korupsi yang tak juga usai serta bercerita tentang keluarganya. Ya, suaminya meninggal 11 tahun yang lalu. Suaminya adalah seorang dosen di sebuah institute teknik ternama di Surabaya, dan beliau pun merupakan seorang dosen di universitas yang sama dengan alm. suaminya mengajar dulu. Sesama dosen teknik pula, hmm

Beliau bertanya tentang pendidikanku. Lantas aku menjawab bahwa aku adalah seorang mahasiswi komunikasi di Gunadarma. Beliau terlihat antusias. Entah kenapa. Ternyata keponakanya adalah seorang mahasiswi komunikasi juga, ia kuliah di universitas Negeri di daerah Jawa Tengah yang mendapat beasiswa S2 di Amerika jurusan hukum internasional, padahal ia sama denganku, seorang perempuan berkerudung tapi tomboy. Beliau berpesan kepadaku untuk tidak menyerah dalam berusaha. Karena beliau kaget ketika aku mengatakan bahwa aku diterima sebagai mahasiswi teknik elektro di sebuah universitas Negeri di Purwokerto. Beliau menyayangkan keputusan yang aku ambil, kemudian beliau bercerita tentang anak keduanya yang belajar teknik elektro juga yang kemudian diterima bekerja di Jerman sebagai designer lampu yang kemudian mendapat beasiswa di perancis. Beliau juga bercerita tentang anaknya yang bekerja di jepang.

Ibu dosen itu memberi aku sebuah wejangan, yaitu untuk melanjutkan S2 di hukum internasional, apalagi saat beliau tahu bahwa aku sangat menyukai sastra karena aku disarankan untuk berjuang lewat puisi untuk bertemu dengan seorang sastrawan favoritku yang kebetulan sering berkunjung ke kampus tetangga dan yang lebih kebetulan lagi Ia adalah teman dari  ibu dosen tersebut. Ibu dosen itu menyarankan kepadaku untuk meminta beasiswa kepada Taufik Ismail untuk S2ku nanti.

Entahlah, semuanya begitu mudah saat kita membicarakannya tapi sangat sulit untukku merealisasikannya. Tapi sesulit apapun dan sejauh apapun mimpiku berada aku akan tetap berusaha mendapatkanya. Karena aku tidak ingin mimpiku yang satu ini aku lepas setelah mimpi menjadi seorang engineer aku lepas begitu saja.

Sampai saat aku turun di stasiun tujuan, aku tidak tahu siapa nama ibu dan kakak perempuan itu. Yang aku tahu, do’a serta restu dari ibu itu mengiringiku untuk meraih mimpi – mimpiku dan kakak perempuan yang berusaha tertawa padahal galau dalam hatinya sedang mendera. Semoga Allah selalu melindungi mereka. Aamiin.

Dan satu hal lagi, aku bangga dengan pilihan aku sekarang. Walau pada mulanya aku hanya melihat jalan yang buram atas pilihan ini.



Sedikit kalimat bijak dariku.

Jalan buram atau abu-abu bukan mustahil untuk dilalui, kita hanya harus sedikit berani untuk melangkah maju dan menegaskan apakah jalan yang akan kita ambil dikemudian hari.

Rasa ketidakberuntungan dan kesialan adalah sebuah fatamorgana belaka. Kadang kita merasa hidup paling sial dan paling tersakiti. Padahal tanpa kita tau, bahkan lebih banyak orang yang memang tidak lebih beruntung dari kita.

dan sebuah mimpi akan tetap menjadi mimpi jika kita tidak bangun untuk mewujudkannya.

-sekian


            

Related Articles

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Pages